Oleh M. Said Didu pada hari Senin, 06 Okt 2025 - 20:49:26 WIB
Bagikan Berita ini :

Peradilan Sesat di Pengadilan Negeri Tangerang: Modus Lama di Ruang Hukum Kita

tscom_news_photo_1759758566.jpg
(Sumber foto : )

Publik kembali dikejutkan oleh dugaan praktik peradilan sesat di Pengadilan Negeri Tangerang. Kasus yang menyeret nama pengacara Charlie Chandra ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas lembaga peradilan di Indonesia. Fenomena ini disebut-sebut memiliki pola serupa dengan perkara yang menimpa ekonom senior Tom Lembong beberapa waktu lalu—yakni perkara yang “dibelokkan” setelah hakim gagal membuktikan tuduhan jaksa, dengan menafsirkan ulang konsep pelanggaran dan kerugian secara sepihak.

1. Tiga Pola yang Mengindikasikan Peradilan Sesat

Dari pengamatan dan dokumen persidangan yang beredar, terdapat tiga indikasi utama yang menunjukkan adanya penyimpangan prosedural dan dugaan manipulasi hukum:

1. Perkara dibelokkan arah hukumnya setelah majelis hakim tidak dapat menemukan bukti sahih atas tuduhan jaksa. Dalam situasi seperti ini, perkara tidak lagi berdiri di atas landasan hukum, melainkan diarahkan untuk memenuhi kepentingan tertentu.


2. Keterangan saksi dari pihak tersangka diabaikan. Padahal, dalam asas peradilan yang adil (fair trial), setiap keterangan harus memiliki bobot penilaian yang setara, baik dari jaksa maupun dari pihak terdakwa.


3. Definisi baru terhadap pelanggaran dan kerugian diciptakan secara sepihak oleh majelis hakim, tanpa dasar hukum yang jelas. Ini adalah bentuk penyelewengan tafsir hukum yang dapat mengaburkan substansi keadilan.

Jika pola seperti ini dibiarkan berulang, maka pengadilan bukan lagi menjadi benteng keadilan, melainkan arena transaksi kekuasaan dan kepentingan.

2. Jejak Modus “Pesanan” dalam Persidangan

Modus perkara pesanan bukan hal baru dalam sejarah hukum Indonesia. Ketika bukti tidak cukup kuat, tetapi vonis tetap harus dijatuhkan sesuai “pesanan”, maka manipulasi tafsir hukum menjadi instrumen yang paling sering digunakan.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana konstruksi hukum bisa diarahkan untuk menciptakan “kesalahan” di mana sebenarnya tidak ada pelanggaran yang terbukti.
Fenomena ini mengingatkan publik pada berbagai kasus yang ditangani aparat hukum namun kemudian terbukti sarat kepentingan—baik ekonomi, politik, maupun pribadi.

Pertanyaan yang muncul di ruang publik pun semakin nyaring: Apakah ini cerminan dari praktik peradilan yang dikendalikan oleh kekuasaan uang?

3. Dugaan Akar Masalah: Korupsi Sistemik di Lingkaran Peradilan

Kecurigaan semakin kuat ketika publik diingatkan pada kasus penangkapan hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditemukan menyimpan uang tunai hampir Rp 1 triliun di bawah bantal. Fakta ini bukan sekadar anekdot gelap, melainkan cermin bahwa sistem peradilan telah lama mengalami korupsi sistemik.
Uang yang semestinya tidak pernah bersentuhan dengan proses keadilan, kini menjadi faktor penentu dalam ruang putusan.

Apabila pengadilan—sebagai benteng terakhir pencari keadilan—telah ternodai oleh kepentingan material, maka seluruh sendi penegakan hukum kehilangan makna dan legitimasi.

4. Upaya Hukum yang Ditempuh: Mencari Keadilan di Jalur Konstitusional

Saat ini, tim kuasa hukum Charlie Chandra tengah menempuh langkah hukum melalui dua jalur:

1. Mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Tangerang.


2. Melaporkan hakim terkait ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk meminta pemeriksaan etik dan integritas.

Langkah ini merupakan upaya sah untuk memulihkan keadilan sekaligus mengembalikan marwah lembaga peradilan sebagai institusi yang netral dan berintegritas.

5. Krisis Kepercayaan terhadap Lembaga Peradilan

Dalam berbagai survei publik, tingkat kepercayaan terhadap lembaga peradilan cenderung menurun. Masyarakat kian skeptis bahwa keadilan bisa dibeli atau diarahkan.
Jika fenomena peradilan sesat ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin rakyat akan kehilangan keyakinan terhadap seluruh sistem hukum negara.

Keadilan tidak boleh menjadi komoditas, dan hakim tidak boleh menjadi “pedagang putusan”.

6. Seruan untuk Reformasi Hukum yang Serius

Peristiwa ini harus menjadi momentum bagi pemerintah dan Mahkamah Agung untuk melakukan reformasi besar-besaran dalam tubuh peradilan. Transparansi, akuntabilitas, serta pengawasan publik harus diperkuat.
Selain itu, perlu ada mekanisme yang memastikan setiap putusan hakim dapat diuji secara etik dan hukum, bukan sekadar formalitas administratif.

Peradilan sesat bukan sekadar kesalahan teknis hukum—ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan itu sendiri. Ketika hakim kehilangan integritas dan menjadikan hukum sebagai alat pesanan, maka rakyat kehilangan harapan.

Keadilan harus kembali menjadi milik rakyat, bukan milik mereka yang berkuasa atau beruang.
Dan perjuangan melawan peradilan sesat harus menjadi agenda bersama seluruhelemenbangsa.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Presiden Prabowo Saksikan Penyerahan Aset Rampasan Negara dari Tambang Ilegal Kepada PT Timah Tbk

Oleh M. Said Didu
pada hari Senin, 06 Okt 2025
Langkah Presiden Prabowo Subianto menyaksikan langsung penyerahan aset rampasan negara hasil tindak pidana pertambangan ilegal kepada PT Timah Tbk patut diapresiasi. Tindakan ini bukan hanya ...
Opini

Reformasi Polri: Dari Kekuasaan Menuju Kepercayaan Publik

TEROPONGSENAYAN.COM - Ketika kepercayaan publik terhadap penegakan hukum terus menurun, sorotan paling tajam kerap diarahkan kepada institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Sebagai garda ...