Oleh Syifa’ Nurda Mu’affa, M.Pd santri dan pegiat literasi pada hari Rabu, 15 Okt 2025 - 10:29:10 WIB
Bagikan Berita ini :

Menjaga Keberadaban Media di Era Kebebasan: Suara Santri untuk Negeri

tscom_news_photo_1760510460.jpg
Pesantren Lirboyo (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dalam beberapa hari terakhir, publik digemparkan oleh tayangan Xpose Uncensored di salah satu stasiun televisi nasional, Trans7. Tayangan tersebut menyinggung santri dan pondok pesantren dengan narasi yang dinilai merendahkan kehidupan pesantren serta menggambarkan santri sebagai sosok kolot dan terbelakang.

Reaksi keras pun datang dari berbagai kalangan: santri, alumni pesantren, hingga masyarakat umum yang menilai bahwa hal itu telah melewati batas kepantasan.

Protes yang muncul bukan semata karena tersinggung, melainkan karena pesantren adalah lembaga yang memiliki sejarah panjang dalam membangun peradaban bangsa. Pesantren bukan hanya tempat menuntut ilmu agama, tetapi juga kawah candradimuka lahirnya tokoh-tokoh bangsa, pemimpin masyarakat, dan penggerak moral yang menjaga keutuhan sosial. Narasi yang keliru tentang pesantren berarti mencederai akar moral kebangsaan itu sendiri.

Padahal, aturan yang mengatur soal penyiaran sudah jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pada Pasal 36 ayat (5), menegaskan bahwa “Isi siaran wajib dijaga agar tidak merendahkan martabat manusia, melecehkan nilai agama, serta menimbulkan permusuhan antar-kelompok masyarakat.”

Hal ini diperkuat oleh Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Tahun 2012 yang melarang siaran berisi pelecehan terhadap tokoh agama maupun nilai-nilai moral masyarakat. Sayangnya, prinsip tersebut sering kali diabaikan, dan media justru berlindung di balik slogan “kebebasan berekspresi”.

Dalam praktiknya, kebebasan tanpa etika justru melahirkan kekacauan moral. Ketika kamera kehilangan adab, maka tayangan menjadi alat eksploitasi, bukan edukasi. Padahal, media memiliki fungsi sosial sebagai pendidik publik (moral educator).

Seperti yang disampaikan oleh Jürgen Habermas (1984), ruang publik yang sehat hanya bisa dibangun di atas discourse ethics percakapan yang rasional, saling menghormati, dan beradab. Prinsip ini sejalan dengan ajaran pesantren: “Al-adabu fauqal ‘ilmi” adab lebih tinggi daripada ilmu.

Dalam konteks hukum yang lebih baru, pemerintah juga telah memperkuat sistem penyiaran melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2024 yang mengubah sebagian ketentuan dalam PP 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik. Regulasi ini menekankan profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas lembaga penyiaran publik agar tidak menyimpang dari prinsip etika publik.

Hal ini menunjukkan bahwa negara menuntut lembaga penyiaran untuk bekerja tidak hanya mengejar rating dan sensasi, tetapi juga menjaga tanggung jawab moral terhadap masyarakat.

Infonya, DPR juga akan segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran sebagai bagian dari prioritas Prolegnas 2024–2025. RUU ini diharapkan dapat memperkuat peran KPI, memperluas pengawasan terhadap konten digital, dan menegaskan kembali pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap nilai-nilai sosial dan keagamaan.

Momentum ini semestinya menjadi refleksi bersama: apakah media kita akan tetap menjadi ruang kebebasan tanpa batas, ataukah ruang edukasi publik yang beradab?

Dalam perspektif pendidikan, media dan pesantren seharusnya dapat bersinergi. Pesantren adalah benteng nilai dan kebijaksanaan, sementara media memiliki kekuatan untuk menyebarkannya secara luas. Paulo Freire (1970) menyebut bahwa pendidikan sejati adalah yang membebaskan, bukan menindas.

Maka, media yang ideal adalah media yang membebaskan manusia dari kebodohan dan prasangka, bukan memperkuat stereotip dan kebencian.

KPI dan Kementerian Komunikasi dan Digital diharapkan dapat menegakkan regulasi dengan pendekatan restoratif. Sanksi yang dijatuhkan sebaiknya tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga edukatif seperti mewajibkan lembaga penyiaran yang melanggar untuk menayangkan program literasi media, dialog keagamaan, atau tayangan edukatif sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip manajemen pendidikan yang mengutamakan pemulihan kesadaran etik (restorative accountability).

Santri hari ini tidak lagi cukup hanya mengaji di bilik pesantren. Mereka harus mampu hadir di ruang publik digital menjadi penyejuk di tengah kebisingan informasi, dan menjadi pengingat bagi media agar tetap berpihak pada kebenaran. Sebagaimana dawuh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wal-Muta’allim: “Ilmu tidak akan berkah tanpa adab, sebagaimana amal tidak akan diterima tanpa niat.”

Kasus Trans7 menjadi cermin penting bagi kita semua. Bagi media, ini peringatan agar tidak tergelincir dalam kesombongan kreativitas tanpa akhlak. Bagi santri, ini panggilan untuk berdakwah dengan literasi dan argumentasi. Dan bagi pembuat kebijakan, ini momentum untuk memperkuat tata kelola penyiaran agar selaras dengan nilai kebangsaan dan keagamaan.

Sebab pada akhirnya, keberadaban media adalah cermin keberadaban bangsa. Kebebasan berekspresi hanya akan bermakna jika dibingkai dengan tanggung jawab moral. Dan seperti halnya pesantren yang menjaga marwahnya dengan adab, media pun harus menjaga martabatnya dengan integritas.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Reformasi Polri di Persimpangan: Antara Kemandirian, Akuntabilitas, dan Tekanan Politik

Oleh Oleh Ariady Achmad | Founder TeropongSenayan.com
pada hari Selasa, 07 Okt 2025
Reformasi kepolisian kembali menjadi isu krusial dalam dinamika politik dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Beberapa opsi desain kelembagaan yang kini beredar di lingkaran elite pemerintahan ...
Opini

'Approach' Rongsokan

Jakarta, awal Oktober 2025. Di ruang sidang Pengadilan Tipikor yang biasanya dingin oleh AC dan naskah dakwaan, tiba-tiba udara jadi panas — bukan karena listrik padam, tapi karena akal sehat ...