TEROPONGSENAYAN.COM - Beberapa hari lalu, sebuah insiden di Istana Negara menyedot perhatian publik. Diana Valencia, wartawan CNN Indonesia, kehilangan hak liputnya setelah mengajukan pertanyaan tentang isu MBG beracun dalam sebuah forum resmi. Alasannya datang dari pihak Istana: “Pertanyaan tidak sesuai acara.”
Sekilas alasan itu terdengar administratif, tetapi sesungguhnya ia mengandung konsekuensi besar bagi demokrasi. Bagaimana mungkin sebuah pertanyaan substantif yang menyangkut keselamatan publik dianggap “tidak sesuai”? Dan lebih jauh lagi, bagaimana mungkin kartu identitas pers—simbol legitimasi profesi jurnalis—dipotong hanya karena sebuah pertanyaan?
Wartawan sebagai Jembatan
Dalam sistem demokrasi, wartawan bukan sekadar penyampai berita, melainkan jembatan antara rakyat dan pemimpinnya. Pertanyaan wartawan sejatinya adalah suara publik yang membutuhkan jawaban. Maka, ketika jurnalis dilarang bertanya, yang sesungguhnya dibungkam adalah rakyat itu sendiri.
Pertanyaan pun mengemuka:
1. Apakah Presiden tidak boleh tahu penderitaan rakyat dari suara wartawan?
2. Atau memang mata dan telinga Presiden Prabowo sudah ditutup rapat oleh orang-orang di sekitarnya?
Pola yang Berulang
Insiden seperti ini bukan pertama kali terjadi. Di era Presiden SBY, wartawan Tempo pernah diprotes keras hanya karena melontarkan pertanyaan sensitif terkait kebijakan energi. Di era Presiden Jokowi, beberapa media sempat dilarang masuk ke lingkungan Istana karena dianggap terlalu kritis dalam pemberitaan.
Kini, di era Presiden Prabowo, pola yang sama kembali tampak. Seakan ada benang merah yang tak pernah putus: protokoler dan birokrasi Istana cenderung memosisikan diri bukan sebagai fasilitator komunikasi, melainkan sebagai “penjaga gerbang” yang menentukan pertanyaan apa yang boleh atau tidak boleh diajukan.
“Kalau ini dibiarkan, kita akan menuju pada demokrasi kosmetik,” kata seorang pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, yang menilai insiden ini sebagai “alarm awal” bagi kebebasan pers di pemerintahan baru.
Demokrasi Mati Pelan-Pelan
Hari ini wartawan dicabut kartunya,
besok bisa jadi rakyat dicabut suaranya.
Demokrasi tidak selalu mati karena kudeta bersenjata. Ia bisa mati pelan-pelan karena dibungkamnya pertanyaan kritis, karena kenyamanan penguasa lebih dipentingkan daripada transparansi, dan karena protokoler birokrasi menjelma menjadi tembok penyensoran.
Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menjamin kemerdekaan pers dan melarang segala bentuk pelarangan atau penyensoran. Tindakan mencabut kartu identitas jurnalis dengan alasan “pertanyaan tidak sesuai acara” jelas bertabrakan dengan semangat konstitusi.
Antara Kekuasaan dan Keberanian
Seorang presiden sejatinya tidak diukur dari seberapa banyak ia dielu-elukan, melainkan dari seberapa besar ia berani mendengar pertanyaan yang tidak nyaman. Justru dari pertanyaan kritis, seorang pemimpin bisa menakar kualitas kebijakannya.
Protokoler Istana yang melarang pertanyaan kritis justru menjerumuskan presiden ke dalam “ruang gema”—di mana hanya suara pujian yang terdengar, sementara jeritan rakyat ditenggelamkan.
Di Roma kuno, gladiator masih diberi kesempatan memilih senjata untuk bertarung. Ironisnya, di republik kita hari ini, wartawan bahkan tidak diberi kesempatan memilih pertanyaan.
Catatan untuk Presiden Prabowo
Ada tiga hal yang penting diingat oleh pihak Istana:
Suara rakyat bukan sampah.
Kartu pers bukan mainan.
Dan Presiden bukan boneka kaca.
Jika pers dibungkam, maka pemerintah kehilangan instrumen koreksi paling sehat. Tanpa kritik, kekuasaan hanya akan berjalan dalam kegelapan.
Menuju Republik Protokoler?
Mungkin suatu saat nanti, wartawan yang hendak bertanya harus lebih dulu menghafal doa pujian bagi penguasa. Jika itu terjadi, selamat datang di Republik Fasis Protokoler—tempat di mana suara rakyat bukan hanya diredam, tapi dipotong dengan gunting kartu ID.
Kebebasan pers adalah fondasi demokrasi. Menjaga kebebasan bertanya berarti menjaga nyawa republik ini. Jangan sampai demokrasi kita hancur bukan karena serangan dari luar, melainkan karena gunting kecil yang memutus kartu ID wartawan.
---
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa di Jakarta
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #