Korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik yang membahayakan kehidupan bernegara. Ia bukan lagi sekadar praktik penyimpangan, melainkan penyakit kronis yang menggerogoti keuangan negara, melemahkan sendi-sendi demokrasi, dan meruntuhkan kepercayaan rakyat kepada hukum. Setiap kali kasus besar terbongkar, publik bukan hanya marah—mereka juga putus asa.
Di tengah situasi ini, hadir Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai sebuah terobosan. RUU ini menawarkan sesuatu yang selama ini absen dalam sistem hukum Indonesia: kemampuan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu putusan pidana terhadap pelakunya.
---
Mengapa RUU Ini Penting?
Selama ini, upaya mengembalikan kerugian negara akibat korupsi selalu tersandera oleh panjangnya proses pidana. Tidak jarang, pelaku meninggal dunia, kabur ke luar negeri, atau menyembunyikan aset dengan meminjam nama keluarga dan kroni. Akibatnya, uang hasil kejahatan yang seharusnya kembali ke rakyat justru hilang tak berbekas.
RUU Perampasan Aset menutup celah itu. Aset bisa langsung dikejar, diblokir, disita, dan kemudian dirampas untuk negara, meskipun pelakunya belum atau bahkan tidak bisa dijerat secara pidana. Prinsipnya jelas: kejahatan tidak boleh menghasilkan keuntungan, siapa pun pelakunya.
---
Apa yang Bisa Dirampas Negara?
RUU ini merinci dengan tegas apa saja yang bisa dirampas:
Hasil tindak pidana korupsi, narkotika, kehutanan, hingga judi daring.
Aset yang digunakan untuk melakukan kejahatan.
Aset pengganti, termasuk harta lain milik pelaku.
Aset yang tidak seimbang dengan penghasilan sah, serta barang temuan yang diduga dari hasil kejahatan.
Bahkan, aset dengan nilai minimal Rp100 juta yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya dapat menjadi objek perampasan.
---
Mekanisme Hukum Baru
Berbeda dari mekanisme pidana, perampasan aset dalam RUU ini ditempuh melalui jalur perdata. Jaksa Pengacara Negara mewakili negara untuk mengajukan permohonan ke pengadilan. Prosesnya melibatkan penyidik, PPATK, hingga hakim perdata.
Pihak ketiga yang merasa dirugikan juga diberi ruang untuk mengajukan keberatan. Namun, beban pembuktian beralih: merekalah yang harus membuktikan bahwa aset tersebut sah dan bukan hasil kejahatan.
---
Ilustrasi Kasus: Jiwasraya
Kita tentu masih ingat skandal Jiwasraya yang mencuat beberapa tahun lalu. Kerugian negara diperkirakan mencapai lebih dari Rp16 triliun. Aset para terdakwa memang disita, mulai dari properti, saham, hingga kendaraan mewah. Namun, proses hukum yang panjang membuat sebagian aset sulit dipertahankan nilainya, bahkan ada yang hilang jejaknya.
Bayangkan jika RUU Perampasan Aset sudah berlaku saat itu. Negara bisa lebih cepat bertindak, langsung membekukan, menyita, dan melelang aset sebelum nilainya menyusut atau dialihkan. Mekanisme ini akan membuat upaya pengembalian kerugian negara lebih efektif, serta mengurangi risiko publik kembali menanggung beban bailout.
Kasus Jiwasraya hanyalah satu contoh. Kita juga mengenal BLBI, Asabri, dan sederet kasus lain di mana aset hasil kejahatan kerap lebih dulu “menghilang” sebelum hukum bertindak.
---
Pro dan Kontra
Tentu saja, langkah progresif ini menuai perdebatan.
Pendukung RUU menilai inilah jalan keluar agar negara tidak lagi kalah dari para koruptor yang lihai menyembunyikan hasil kejahatan. Selama ini, mereka aman karena hukum pidana begitu kaku.
Pihak yang kritis mengingatkan risiko pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa kehati-hatian, aparat bisa saja salah sasaran, dan warga yang beritikad baik kehilangan haknya. Karena itu, akuntabilitas dan transparansi dalam implementasi mutlak diperlukan.
---
Taruhan Masa Depan Bangsa
Korupsi telah merampas banyak hal dari bangsa ini: anggaran pembangunan yang seharusnya untuk rakyat miskin, kualitas layanan publik, hingga harapan generasi muda untuk hidup dalam negara yang adil.
RUU Perampasan Aset bukanlah obat mujarab. Ia hanya alat—tetapi alat yang sangat penting. Dengan pengawasan publik dan komitmen aparat penegak hukum, RUU ini bisa menjadi senjata baru melawan mautnya korupsi.
Kini bola ada di tangan DPR dan pemerintah. Apakah mereka benar-benar berpihak pada rakyat, atau kembali terjebak dalam kompromi politik yang membiarkan korupsi tetap menjadi raja tak terlihatdinegeriini?
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #