Reformasi kepolisian kembali menjadi isu krusial dalam dinamika politik dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Beberapa opsi desain kelembagaan yang kini beredar di lingkaran elite pemerintahan memunculkan kekhawatiran serius di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Sejumlah pejabat tinggi Polri menilai bahwa skenario perubahan tersebut dapat mengubah fondasi kemandirian institusi, sekaligus membuka ruang tarik-menarik kepentingan antara politik, militer, dan lembaga penegak hukum lainnya.
---
1. Arah Baru Struktur Polri: Di Bawah Kementerian atau Tetap Mandiri?
Sumber dari kalangan reformasi hukum menyebut ada tiga opsi besar yang sedang dikaji oleh tim lintas lembaga:
1. Penempatan Polri di bawah kementerian, dengan pilihan antara Kementerian Pertahanan seperti halnya TNI, Kementerian Dalam Negeri seperti model di banyak negara, atau pembentukan kementerian khusus kepolisian.
2. Pengalihan sebagian kewenangan ke lembaga lain: pemberantasan narkoba ke BNN, terorisme ke BNPT, korupsi ke KPK atau Kejaksaan, dan perjudian daring (judol) ke BSSN. Dalam skema ini, Polri hanya terlibat jika diminta secara resmi.
3. Restrukturisasi internal, yakni menempatkan Brimob di bawah kendali Polres atau kepala daerah, bukan lagi langsung di bawah Kapolri. Model ini menyerupai SWAT di Amerika Serikat, yang hanya digerakkan untuk kebutuhan taktis di tingkat lokal.
Sebagian pihak menilai bahwa gagasan ini merupakan bagian dari upaya memperkuat sistem checks and balances, agar Polri tidak terlalu besar dan terpusat kekuasaannya. Namun, di sisi lain, sebagian pejabat tinggi kepolisian melihatnya sebagai ancaman terhadap kemandirian institusi dan potensi meningkatnya intervensi politik dalam proses penegakan hukum.
---
2. Resistensi dan Ancaman Balasan: “Contingency Plan” Polri
Tim internal yang dibentuk Kapolri disebut tengah menyusun rancangan pembaruan internal yang berfokus pada penyempurnaan sistem dan prosedur kerja, tanpa mengubah status dan kewenangan kelembagaan.
Namun, bila tekanan politik untuk menempatkan Polri di bawah kementerian atau membatasi kewenangannya tak dapat dihindari, telah disiapkan rencana kontinjensi (contingency plan).
Salah satu langkah yang dipertimbangkan adalah membuka data aliran dana ilegal dari sektor-sektor gelap seperti narkoba dan perjudian daring (judol), yang diduga melibatkan sejumlah figur politik dan partai besar.
Strategi ini dipandang sebagai “opsi defensif” untuk menekan pihak-pihak tertentu di lingkar kekuasaan. Isu pembongkaran dana ilegal dapat memicu sentimen publik yang sangat negatif dan mengguncang stabilitas politik nasional.
> “Kalau sampai data itu dibuka, ini bukan sekadar soal reformasi institusional, tapi bisa jadi krisis kepercayaan politik,” ujar seorang sumber internal kepolisian.
---
3. Polemik “Jatah” SPPG dan Skandal MBG
Isu lain yang kini memanas adalah soal SPPG (Sarana Penunjang Program Giat), yang disebut-sebut dibagi antara tiga pihak: TNI, Polri, dan partai politik.
Belakangan muncul kasus keracunan massal berulang yang memicu blaming game — saling tuduh antar pihak mengenai siapa yang paling bertanggung jawab atas distribusi SPPG.
Yang paling ditakutkan adalah jika muncul tuntutan audit dan proses hukum terhadap kasus ini. Sebab, audit menyeluruh berpotensi membuka korupsi proyek MBG (Makan Bersama Gratis) dan mengungkap distribusi dana ilegal yang mengalir ke berbagai pihak.
Situasi ini membuat banyak pihak berupaya keras menekan pemberitaan dan menunda langkah investigatif, karena efek politiknya bisa sangat luas dan merusak reputasi lembaga.
---
4. Isu Pendidikan dan Reputasi Dinasti Politik
Di luar isu kepolisian, muncul pula langkah “pembersihan citra” oleh jaringan dinasti politik Solo dalam rangka memitigasi risiko pencalonan GRR di masa depan.
Latar pendidikan yang sempat dipersoalkan kini telah diklaim beres dengan adanya pengakuan dari lembaga pendidikan di Singapura.
Namun, perubahan status pendidikan — dari belum jelas menjadi sarjana (S1) dalam waktu kurang dari satu tahun — tetap memunculkan keraguan publik terhadap integritas administrasi negara dan kejujuran proses politik.
Kritikus menilai bahwa langkah ini dapat menjadi preseden buruk di tengah upaya pemerintahan Prabowo Subianto untuk memperkuat meritokrasi dan menegakkan moralitas birokrasi.
---
Kesimpulan: Persimpangan Kepemimpinan dan Kepercayaan Publik
Keempat isu di atas memperlihatkan bagaimana reformasi kepolisian dan tata kelola negara kini berada di persimpangan yang menentukan.
Upaya menata ulang struktur Polri, resistensi internal, konflik distribusi dana program, hingga problem kredibilitas figur politik, semuanya bermuara pada satu hal: krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Reformasi Polri seharusnya tidak dijadikan ajang perebutan kendali kekuasaan, tetapi momentum untuk mengembalikan hakikat kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat — profesional, berintegritas, dan bebas dari kepentinganpolitik.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #