Oleh Ir. Ali Wongso Sinaga – Ketua Umum SOKSI pada hari Jumat, 19 Sep 2025 - 20:37:50 WIB
Bagikan Berita ini :

Menko Polkam Baru dan Agenda Reformasi Politik Keamanan

tscom_news_photo_1758289070.jpg
Ali Wongso Sinaga Ketua Umum SOKSI (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pelantikan Jenderal TNI (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menko Polkam berlangsung di tengah gejolak kepercayaan publik terhadap politik, hukum, dan ekonomi nasional. Demo besar pada akhir Agustus lalu—meski diwarnai infiltrasi kepentingan oleh pihak tertentu —namun memperlihatkan kemarahan organik rakyat : maraknya korupsi, kesulitan ekonomi, dan gaya hidup mewah para wakil rakyat, ketidakadilan hukum. DPR dinilai lebih sebagai kepanjangan tangan partai politik dan oligarki ketimbang sebagai representasi rakyat. Tuntutan keras “Bubarkan DPR” adalah simbol adanya potensi jurang yang makin lebar antara negara dan rakyatnya.

Fenomena ini bukanlah peristiwa tunggal, melainkan akumulasi persoalan sejak awal reformasi. Empat kali amandemen UUD 1945 (1999–2002) yang dimaksudkan memperkuat demokrasi, justru meninggalkan cacat desain kelembagaan. Konstitusi hasil amandemen sarat nuansa liberalisme politik dan kapitalisme-liberal ekonomi. Hasilnya, kekuasaan politik bertumpu pada partai politik, sementara perekonomian condong ke liberalisasi yang menjauhkan Pasal 33 UUD 1945.

Presiden Prabowo telah memberi isyarat perlunya reformasi politik dan keamanan sebagai agenda nasional yang mendesak. Isyarat itu harus dipahami secara luas : bukan hanya menyangkut pemilu lima tahunan atau sekadar reformasi Polri, melainkan menyentuh akar persoalan bangsa—penataan konstitusi, sistem perwakilan rakyat, pemberantasan korupsi, ekonomi berkeadilan, hingga tata ulang sistem keamanan nasional.

Menko Polkam baru, dengan mandat koordinasi politik, dan keamanan, berada pada posisi strategis. Tugas yang diembannya berat dan kompleks, namun juga mulia : menjembatani visi Presiden dengan tuntutan rakyat, mengawal stabilitas nasional sekaligus membuka jalan reformasi substantif.

Konstitusi Pasca-Amandemen dan Realitas Politik

Amandemen UUD 1945 di awal reformasi dimaksudkan memperkuat demokrasi, tetapi dalam praktik justru melahirkan masalah serius.

Pertama, DPR menjadi lembaga amat kuat, tetapi loyalitas anggotanya lebih kepada elite partai politik daripada konstituen. Mekanisme recall berada sepenuhnya di tangan partai. Kedaulatan rakyat yang mestinya dijamin Pasal 1 ayat (2) konstitusi justru bergeser menjadi kedaulatan partai politik.

Kedua, politik transaksional makin menonjol. Sistem presidensial yang dipadukan dengan multipartai rapuh memaksa presiden terpilih membangun koalisi gemuk berbasis barter politik. Check and balances yang semestinya mencegah penyalahgunaan kekuasaan berubah menjadi konspirasi antar-kleptokrat. Putusan MK 2008 yang menerapkan sistem proporsional terbuka menambah biaya politik tinggi, melahirkan politik uang dalam pemilu 2014, 2019, dan 2024.

Ketiga, orientasi ekonomi hasil amandemen bergeser ke liberalisasi. Banyak UU yang lahir lebih menguntungkan korporasi besar, sementara koperasi, UMKM, dan petani terpinggirkan.

Cacat desain konstitusi ini menjadi faktor dominan lahirnya realitas politik sekarang : DPR kehilangan legitimasi, politik uang merajalela, oligarki ekonomi semakin menancap, dan rakyat makin teralienasi.
Karena itu, wacana “kembali ke UUD 1945” mencuat adalah relevan. Namun sekadar kembali ke teks asli tidak cukup. Diperlukan Addendum : tambahan substansi untuk menjawab kebutuhan sesuai zaman tanpa mengubah jati diri bangsa.

Addendum dapat mengatur pembatasan masa jabatan, keberadaan MK, DPD, serta mekanisme penguatan partisipasi rakyat. Dengan cara itu, jiwa Pancasila dan jati diri UUD 1945 tetap terjaga, tetapi kebutuhan modernitas juga diakomodasi.

Demokrasi Perwakilan atau Demokrasi Partai?

Salah satu krisis terbesar pasca-amandemen UUD 1945 adalah hilangnya demokrasi perwakilan rakyat. DPR dan DPRD lebih sering menjadi corong partai, bukan rakyat. Politik uang dalam tiga pemilu terakhir mempertegas fakta : rakyat dijadikan objek, suaranya dibeli, lalu wakil rakyat patuh pada sponsor politik dan potensial korup untuk mengembalikan biaya suaranya.

Sistem pemilu proporsional terbuka memang memberi ruang memilih langsung, tetapi ongkos politik yang tinggi justru melahirkan praktik transaksional. Karena itu, hak recall rakyat terhadap wakilnya harus dihadirkan. Mekanisme ini akan mengembalikan kontrol langsung rakyat, bukan hanya elite partai.
Pilkada langsung juga perlu dievaluasi.

Alih-alih memperkuat demokrasi lokal, Pilkada justru sering diwarnai mahar politik dan politik uang yang memicu korupsi kepala daerah. Reformasi politik harus berani menyentuh jantung semua persoalan ini : menata ulang sistem kepartaian, pemilu, dan Pilkada agar menghasilkan pemimpin berintegritas.

Partai politik juga harus menjalankan fungsi aslinya: mengartikulasikan kepentingan rakyat, mengagregasi aspirasi, dan melakukan pendidikan politik. Tanpa reformasi partai, demokrasi hanya akan menghasilkan “demokrasi partai” bukan demokrasi perwakilan rakyat.

Pemberantasan Korupsi sebagai Agenda Utama

Korupsi adalah musuh utama bangsa. Ia bukan hanya kejahatan luar biasa, melainkan sumber kerusakan sistem politik dan ekonomi.

Pemberantasan korupsi harus ditempatkan sebagai inti reformasi politik dan agenda utama. Kejaksaan perlu diperkuat integritas dan kapasitasnya sebagai garda terdepan, sementara integritas dan independensi KPK juga perlu dipulihkan. Sinergi keduanya mutlak untuk membangun kembali kepercayaan rakyat dan efektifitas pemberantasan korupsi.
UU Perampasan Aset Koruptor adalah kebutuhan mendesak.

Sayangnya, DPR selama ini tampak enggan atau setengah hati. Jika legislatif terus menunda, pemerintah dapat mengambil jalan Perppu. Dengan UU ini, aset koruptor bisa dirampas dan dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Tanpa itu, koruptor hanya menjalani hukuman singkat, sementara hasil jarahan tetap dinikmati keluarganya. Tuntutan rakyat sederhana : rampas, kembalikan, gunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Ekonomi Pasal 33 UUD 1945 dan Stabilitas Nasional

Reformasi politik tidak bisa dipisahkan dari agenda ekonomi. Rakyat marah bukan hanya karena korupsi atau DPR tidak kredibel, tetapi juga karena sulitnya ekonomi sehari-hari.
Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun praktik liberalisasi membuat sumber daya strategis jatuh ke tangan korporasi besar. Negara hanya memperoleh royalti kecil dan pajak yang kerap ditelikung lewat transfer pricing.

Sudah waktunya harus meninggalkan pola kolonial ini. Negara perlu hadir sebagai pengelola SDA dengan model kemitraan adil bersama koperasi atau korporasi nasional, dengan berani menghadapi resistensi para korporasi yang menikmatinya secara dominan selama ini. Pola penerimaan negara tidak boleh lagi hanya bertumpu pada pajak rakyat, tetapi harus lebih mengandalkan dari optimalisasi pengelolaan SDA strategis sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Menghidupkan kembali ekonomi kerakyatan—koperasi, UMKM, pertanian, perikanan—adalah keharusan. Tanpa keadilan ekonomi, stabilitas politik hanya akan menjadi ilusi.

Reformasi POLRI dan UU Keamanan Nasional
Sektor keamanan adalah bagian vital dari agenda reformasi. POLRI, sesuai konstitusi, berfungsi menjaga kamtibmas, menegakkan hukum, melindungi, dan melayani masyarakat. Namun citra POLRI hari ini justru banyak dikritik publik : kasus kekerasan, integritas yang lemah, hingga perilaku rente.

Reformasi POLRI harus menyentuh aspek struktural dan kultural. Rekrutmen, promosi jabatan, profesionalisme penyidikan, hingga budaya pelayanan harus ditata ulang. POLRI harus dikembalikan pada jati diri sebagai pelindung rakyat, pelayan rakyat, pengaman rakyat, penegak hukum dan bukan alat kepentingan kekuasaan.

Selain itu, tumpang tindih peran TNI–Polri yang sering terjadi menunjukkan urgensi UU Keamanan Nasional. Undang-undang ini akan menegaskan pembagian peran, memperkuat sinergi, dan memastikan transparansi serta akuntabilitas. Tanpa itu, potensi penyalahgunaan kewenangan akan terus menghantui.

Momentum Menentukan

Menko Polkam baru memikul peran strategis dalam mengawal agenda besar ini. Ia bukan sekadar pengelola stabilitas, tetapi motor koordinasi reformasi politik-keamanan. Tantangan yang dihadapi bukan kecil : memperbaiki konstitusi, memperkuat demokrasi perwakilan, memberantas korupsi, menegakkan ekonomi berkeadilan, dan menata sektor keamanan.

Rakyat percaya pada kepemimpinan Presiden Prabowo. Menko Polkam baru diharapkan menjadi tangan kanan Presiden untuk memastikan agenda reformasi berjalan nyata, bukan sekadar retorika. Jika dijalankan konsisten, krisis kepercayaan yang muncul dalam demo Agustus lalu tidak akan memperdalam jurang rakyat–negara, melainkan menjadi pemicu trace baru dan kebangkitan baru dibawah kepemimpinan nasional Presiden Prabowo menuju Indonesia Emas 2045.

(Penulis adalah mantan Anggota DPR RI ; mantan Ketua DPP Partai Golkar dan Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar. Tulisan ini merupakan sharing idea strategis kepada publikdan pemangku kebijakan)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #soksi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

KPU HARUS DIPECAT

Oleh Radhar Tribaskoro
pada hari Selasa, 16 Sep 2025
TEROPONGSENAYAN.COM - Kita tahu, demokrasi tak selalu tumbuh karena niat baik, tapi juga karena kewajiban hukum. Ia hidup bukan karena kesantunan pejabat, melainkan karena rakyat menuntut ...
Opini

Segera Sapu Bersih Geng Solo, atau Prabowo yang Digusur

TEROPONGSENAYAN.COM - Reshuffle pada 8 September 2025 bukan ujug-ujug, apalagi acak. Kita harus membacanya dengan jeli dan teliti. Ia isa disebut sebagai babak baru Presiden Prabowo. Maksudnya ...