Oleh Ariady Achmad pada hari Senin, 29 Sep 2025 - 15:11:53 WIB
Bagikan Berita ini :

Kebebasan Pers Diuji: Polemik Pencabutan ID Card Wartawan CNN Indonesia di Istana

tscom_news_photo_1759133513.jpg
Pers (Sumber foto : Istimewa)

TeropongSenayan.com – Polemik pencabutan kartu identitas (ID Card) wartawan CNN Indonesia, Diana Valencia, oleh Biro Pers Sekretariat Presiden memantik perhatian serius publik. Dewan Pers, organisasi profesi wartawan, hingga lembaga bantuan hukum menilai insiden ini sebagai preseden berbahaya bagi kebebasan pers di Indonesia.

Kasus ini mencuat usai pertanyaan Diana kepada Presiden Prabowo Subianto terkait kelanjutan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pertanyaan yang sejatinya bagian dari tugas jurnalistik itu justru direspons dengan pencabutan ID Card liputan Istana. Langkah ini langsung menuai kritik, baik dari kalangan profesi jurnalis maupun penggiat demokrasi.


---

Respons Dewan Pers: Kebebasan Pers Harus Dijunjung Tinggi

Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, mengingatkan bahwa kemerdekaan pers telah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Ia menekankan, tindakan yang menghambat kerja jurnalis berpotensi melanggar undang-undang sekaligus menggerus iklim demokrasi.

“Dewan Pers mendorong Biro Pers Istana segera memberi penjelasan terkait pencabutan ID wartawan CNN. Kami juga meminta akses liputan jurnalis dipulihkan agar tidak menghambat tugas jurnalistik di lingkungan kepresidenan,” ujarnya.

Lebih jauh, Dewan Pers mengingatkan agar insiden serupa tidak terulang di masa depan. “Kebebasan pers adalah pilar demokrasi. Jika pilar ini diganggu, maka kualitas demokrasi kita ikut terancam,” tegas Komaruddin.


---

AJI Jakarta dan LBH Pers: Pelanggaran UU Pers dan Hak Publik

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengecam keras tindakan pencabutan ID Card tersebut. Menurut mereka, apa yang dialami Diana Valencia tidak hanya merugikan jurnalis, tetapi juga publik luas yang berhak atas informasi.

“Ini pelanggaran terhadap UU Pers sekaligus pembatasan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang dijamin konstitusi,” tegas AJI dalam keterangan resminya.

AJI dan LBH Pers mendesak agar ID Pers Istana segera dikembalikan. Selain itu, mereka meminta agar pejabat terkait di Biro Pers dievaluasi. “Kerja jurnalis dilindungi undang-undang. Menghalangi liputan berarti menghalangi demokrasi,” tambah LBH Pers.


---

PWI Pusat: Demokrasi Tidak Boleh Dibatasi

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat juga menyatakan keprihatinan mendalam. Ketua Umum PWI, Akhmad Munir, menilai pencabutan ID Card wartawan CNN Indonesia berpotensi mencederai prinsip dasar demokrasi.

“Pertanyaan jurnalis, meski di luar agenda resmi, tidak bisa dijadikan alasan pembatasan. Justru fungsi pers adalah menggali informasi yang relevan untuk publik,” katanya.

Munir mendesak Biro Pers Istana segera memberi klarifikasi resmi. “Menjaga kemerdekaan pers sama dengan menjaga demokrasi. Pemerintah harus terbuka terhadap pertanyaan publik, termasuk yang diajukan melalui jurnalis,” tutupnya.


---

Ilustrasi Kasus Serupa di Era Sebelumnya

Peristiwa Diana Valencia bukan yang pertama dalam sejarah hubungan pers dan pemerintah di Indonesia.

Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY):
Pada 2010, sejumlah wartawan pernah dikeluhkan karena aksesnya dibatasi saat meliput acara kenegaraan yang dihadiri Presiden. Misalnya, liputan di Bandara Halim Perdana Kusuma yang mengatur jurnalis hanya boleh mengambil gambar dari jarak tertentu. Kala itu, Dewan Pers juga menegaskan bahwa pembatasan berlebihan berpotensi menghalangi kerja pers, meskipun tidak sampai pada pencabutan ID.

Era Presiden Joko Widodo (Jokowi):
Pada 2018, kasus serupa terjadi ketika beberapa jurnalis diduga “diblacklist” dari kegiatan Istana setelah mengajukan pertanyaan kritis, terutama terkait isu ekonomi dan politik. AJI Jakarta saat itu menyebut adanya pola pembatasan tidak resmi yang mengarah pada diskriminasi terhadap jurnalis tertentu. Selain itu, pembatasan akses jurnalis asing ke Papua di era Jokowi juga kerap dikritik sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip kebebasan pers.


Kedua ilustrasi ini menunjukkan bahwa persoalan kebebasan pers dan akses jurnalis ke Istana bukanlah isu baru. Namun, kasus terbaru ini justru lebih serius karena menyangkut pencabutan identitas resmi seorang wartawan, yang secara langsung membatasi haknya untuk menjalankan tugas profesi.


---

Analisis: Implikasi Bagi Demokrasi dan Relasi Pers–Pemerintah

Kasus ini memperlihatkan rapuhnya relasi antara institusi negara dan pers di Indonesia. Jika pencabutan ID wartawan dibiarkan, akan tercipta efek gentar (chilling effect) yang membuat jurnalis enggan mengajukan pertanyaan kritis.

Secara politik, langkah ini bisa menimbulkan persepsi bahwa pemerintah tidak siap menghadapi kritik maupun pertanyaan sensitif. Padahal, dalam tradisi demokrasi modern, jurnalis berfungsi sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah—menjadi saluran pertanggungjawaban publik (public accountability).

Secara hukum, tindakan pencabutan ID wartawan tanpa dasar jelas berpotensi melanggar Pasal 4 UU Pers, yang menegaskan bahwa “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.” Jika praktik seperti ini dibiarkan, kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menjunjung demokrasi bisa terkikis.


---

Kesimpulan

Polemik pencabutan ID wartawan CNN Indonesia di Istana bukan sekadar insiden administratif, tetapi ujian nyata bagi komitmen pemerintah dalam menjaga kemerdekaan pers. Desakan Dewan Pers, AJI, LBH Pers, hingga PWI menunjukkan konsistensi komunitas pers dalam menegakkan mandat konstitusi.

Belajar dari era SBY maupun Jokowi, pembatasan terhadap jurnalis selalu berujung pada kritik tajam dan menurunkan kredibilitas pemerintah. Kini, bola berada di tangan Biro Pers Istana.

Apakah mereka akan mengembalikan akses jurnalis sebagai bukti penghormatan terhadap demokrasi? Atau justru membiarkan preseden ini membayangi hubungan pers–pemerintah ke depan?

Satu hal pasti: menjaga kebebasan pers sama artinya dengan menjaga demokrasi Indonesia itu sendiri.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

Republik Gunting Kartu ID: Antara Protokoler dan Demokrasi

Oleh Benz Jono HartonoAchmad Faridz Ramadhan
pada hari Senin, 29 Sep 2025
TEROPONGSENAYAN.COM - Beberapa hari lalu, sebuah insiden di Istana Negara menyedot perhatian publik. Diana Valencia, wartawan CNN Indonesia, kehilangan hak liputnya setelah mengajukan pertanyaan ...
Opini

Ilāf Quraisy

TEROPONGSENAYAN.COM - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tak bosan-bosannya di setiap forum mengkampanyekan Trilogi Pembangunan ala Prof. Sumitro Djojohadikusumo: _pertumbuhan ekonomi tinggi, ...