Oleh Tim Teropong Senayan pada hari Senin, 22 Sep 2025 - 12:24:34 WIB
Bagikan Berita ini :

Kemiskinan Turun Menurut BPS, Tapi Apakah Angka Itu Realitas?

tscom_news_photo_1758518674.jpeg
(Sumber foto : )

Tingkat kemiskinan nasional Indonesia per Maret 2025 tercatat 8,47% atau sekitar 23,85 juta orang. Angka ini dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan menunjukkan penurunan dibanding periode sebelumnya. Pemerintah tentu menjadikan capaian ini sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Namun, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan realitas di lapangan?

Garis Kemiskinan Nasional: Rp20.305 per Hari

BPS menetapkan garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.305 per hari. Dengan patokan ini, seseorang dianggap miskin apabila pengeluarannya tidak mencapai angka tersebut.

Namun, standar ini sering dipersoalkan. Dengan biaya transportasi, pendidikan, dan kesehatan yang jauh lebih tinggi dari nominal tersebut, sulit membayangkan bagaimana angka Rp20 ribu per hari dapat menjamin hidup layak, terutama di kota-kota besar.

Versi Bank Dunia: 60,3% Warga Indonesia Masih Miskin

Bank Dunia menawarkan perspektif berbeda. Menggunakan standar garis kemiskinan yang lebih tinggi—disesuaikan dengan paritas daya beli (PPP) tahun 2021—mereka menghitung bahwa 60,3% penduduk Indonesia masih masuk kategori miskin.

Perbedaan angka ini bukan sekadar masalah metodologi, tetapi juga soal perspektif pembangunan. Angka versi Bank Dunia memang lebih “ambisius” karena menuntut standar hidup lebih tinggi. Namun, justru hal itu bisa menjadi cermin apakah Indonesia siap berkompetisi dalam ekonomi global dengan kualitas hidup warganya yang setara.

Realitas di Lapangan: Dua Potret Nyata

1. Pekerja Informal di Jakarta
Andi, seorang tukang ojek daring berusia 38 tahun, tinggal bersama istri dan dua anaknya di rumah kontrakan sederhana di Jakarta Timur. Pendapatan hariannya rata-rata Rp80–100 ribu, namun lebih dari separuhnya habis untuk bensin dan cicilan motor. Sisanya digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Ketika anaknya sakit, ia terpaksa berutang kepada tetangga karena biaya berobat tidak tertutupi oleh BPJS. Menurut standar BPS, Andi mungkin tidak termasuk kategori miskin karena pendapatannya melebihi Rp20 ribu per hari. Tetapi, dalam realitasnya, setiap bulan ia hidup dalam lingkaran utang dan kecemasan.


2. Petani di Jawa Tengah
Siti, petani padi berusia 52 tahun, mengandalkan hasil panen setahun dua kali dari lahan setengah hektare. Setelah dipotong biaya produksi, penghasilannya bersih tak sampai Rp500 ribu per bulan. Jika harga gabah jatuh, ia bahkan merugi.

Dalam catatan statistik, Siti mungkin tidak selalu masuk kategori miskin, tetapi kondisi hidupnya jelas jauh dari sejahtera.

Perbandingan dengan Negara ASEAN

Ketika berbicara soal kemiskinan, Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Perbandingan dengan negara-negara ASEAN memberi gambaran posisi Indonesia di kawasan.

Vietnam: Meski tingkat kemiskinan ekstrem (dengan standar Bank Dunia $2,15 PPP) sudah di bawah 2%, Vietnam menghadapi tantangan serupa Indonesia: jutaan pekerja informal dengan upah rendah. Namun, pertumbuhan industri manufaktur ekspor di Vietnam berhasil menyerap tenaga kerja besar-besaran dan mengurangi kerentanan.

Filipina: Tingkat kemiskinan resmi pada 2023 masih sekitar 22%. Inflasi pangan yang tinggi membuat jutaan warga Filipina sulit keluar dari jerat kemiskinan. Kondisi ini mirip dengan Indonesia, di mana harga beras menjadi faktor sensitif yang memengaruhi daya beli rumah tangga miskin.

Thailand: Tingkat kemiskinan ekstrem sangat rendah (di bawah 1%), namun ketimpangan wilayah masih tajam. Meski demikian, Thailand relatif lebih unggul dalam memberikan akses layanan kesehatan universal yang meringankan beban warga miskin.

Indonesia: Secara resmi berhasil menekan angka kemiskinan menjadi 8,47%. Namun, jika menggunakan standar Bank Dunia ($3,65 PPP per hari), lebih dari separuh penduduk masih tergolong miskin atau rentan miskin. Ini menunjukkan rapuhnya daya tahan ekonomi rumah tangga Indonesia terhadap guncangan harga dan krisis.


Faktor Penyebab Kemiskinan di Indonesia

Kasus Andi dan Siti, ditambah perbandingan dengan negara tetangga, menggarisbawahi akar masalah yang lebih dalam:

Kesulitan Mendapatkan Pekerjaan Layak
Sektor informal masih mendominasi, dengan minim perlindungan sosial.

Rendahnya Penghasilan
Upah riil belum mampu mengimbangi kenaikan biaya hidup.

Biaya Hidup Tinggi
Transportasi, sewa rumah, pendidikan, dan kesehatan menekan anggaran keluarga miskin, meski inflasi resmi terkendali.


Antara Angka dan Realita

Pemerintah berhak mengklaim keberhasilan melalui penurunan angka kemiskinan resmi. Namun, apakah menurunnya angka kemiskinan versi BPS juga berarti berkurangnya jumlah keluarga yang kesulitan membayar kontrakan, biaya sekolah, atau ongkos berobat?

Jika garis kemiskinan hanya dihitung dari batas minimal konsumsi, maka potret kemiskinan sesungguhnya bisa jauh lebih luas.

Penutup: Tantangan Ke Depan

Indonesia memang berhasil menurunkan angka kemiskinan secara statistik. Tetapi, pekerjaan besar masih menanti: meningkatkan kualitas lapangan kerja, memperbaiki upah riil, menurunkan biaya hidup, serta menciptakan sistem jaminan sosial yang lebih adil.

Tanpa itu semua, angka kemiskinan bisa saja menurun di atas kertas, namun rakyat tetap merasakan beban hidupyangberat.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

Elaborasi Komprehensif RUU Perampasan Aset

Oleh Team teropongsenayan.com
pada hari Minggu, 21 Sep 2025
Jakarta, 21 September 2025 RUU Perampasan Aset lahir dari kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem hukum Indonesia dalam menghadapi tindak pidana yang berorientasi keuntungan ekonomi, seperti ...
Opini

RUU Perampasan Aset: Senjata Baru Melawan Mautnya Korupsi

Korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik yang membahayakan kehidupan bernegara. Ia bukan lagi sekadar praktik penyimpangan, melainkan penyakit kronis yang menggerogoti keuangan negara, melemahkan ...