
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi VII DPR RI Yoyok Riyo Sudibyo menyoroti dua insiden serius yang menimpa wisatawan asing di Bali yakni dugaan keracunan yang menewaskan satu WN China di Canggu dan kecelakaan maut rombongan wisatawan China saat menuju Lovina. Ia menekankan pentingnya membangun kesadaran demi Indonesia menjadi tujuan wisata berkelanjutan.
Selain itu, Yoyok menegaskan kejadian di Bali tersebut menunjukkan perlunya kesadaran dan tanggungjawab semua pihak dalam membangun pariwisata yang aman dan berkelanjutan.
"Kesadaran terhadap keamanan dan kenyamanan pariwisata itu tanggungjawab semua pihak mulai dari masyarakat, aparat, sampai para pejabatnya," kata Yoyok, Jumat (28/11/2025).
Seperti diketahui, enam wisatawan mancanegara (wisman) mengalami diare, dan satu orang meninggal dunia saat menginap di Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Korban yang meninggal bernama Deqingzhuoga (25) asal China.
Insiden tersebut terjadi pada 2 November 2025. Dugaan sementara, kasus ini disebabkan oleh keracunan akibat fumigasi kutu busuk di sekitar hostel tempat mereka menginap.
Dalam bulan yang sama, lima wisatawan asal China tewas dalam kecelakaan tunggal yang melibatkan mobil travel Toyota Hiace di Jalan Singaraja–Denpasar, Buleleng, pada Jumat (14/11) dini hari. Rombongan tersebut sedang dalam perjalanan menuju Pantai Lovina untuk menikmati atraksi lumba-lumba.
Terkait hal itu, menurut Yoyok, kejadian ini mengungkap adanya kegagalan pengawasan industri akomodasi pariwisata, terutama di segmen usaha kecil dan hostel low-budget yang berkembang pesat tanpa standar operasional yang jelas.
Kasus tersebut pun dinilai bukan sekadar insiden lokal, tetapi menjadi indikator kelemahan tata kelola industri pariwisata nasional mulai dari sanitasi, keselamatan wisatawan, hingga kesiapan industri hospitality dalam menghadapi situasi darurat.
Oleh karenanya, Yoyok menegaskan industri pariwisata tidak boleh berjalan berdasarkan intuisi pengelola, tetapi harus mengikuti standar profesional.
“Pengawasan akomodasi kecil masih tidak sistematis dan berbasis risiko. Keamanan akomodasi bagi wisatawan juga masih sangat minim. Ini kegagalan di sektor pariwisata kita,” ungkap Yoyok.
Lebih lanjut, Yoyok menyoroti tidak berlanjutnya program Cleanliness, Health, Safety, and Environment Sustainability (CHSE) yang merupakan inisiasi Kementerian Pariwisata, termasuk sertifikasi pasca pandemi sebagai standar wajib pelayanan.
Sementara pemerintah daerah belum memiliki database akomodasi yang terintegrasi dengan indikator sanitasi, kapasitas hunian, dan kesiapan darurat.
"Kalau hanya mengeksplor dengan keserakahan tanpa adanya kesadaran wisata yang berkelanjutan, mimpi saja Indonesia akan menjadi tujuan wisata yang berkelanjutan dan berkembang," tegas Yoyok.
Anggota komisi DPR yang membidangi urusan pariwisata dan UMKM itu pun mendorong langkah korektif berupa penetapan standar sanitasi minimum wajib, audit menyeluruh terhadap hostel di kawasan pariwisata utama, hingga kewajiban pelatihan keselamatan bagi seluruh staf akomodasi
Yoyok juga menekankan pentingnya integrasi pengawasan lintas sektor yang melibatkan Dinas Pariwisata, Dinas Kesehatan, aparat penegak hukum, dan asosiasi akomodasi.
“Kemudian sertifikasi kompetensi pelaku industri pariwisata dan penguatan standar usaha melalui instrumen regulatif juga harus menjadi prioritas. Termasuk jaminan keamanan transportasi bagi wisatawan,” sebut Legislator dari Dapil Jawa Tengah X itu.
Yoyok pun menegaskan keselamatan wisawatan harus menjadi prioritas.
"Keselamatan wisatawan adalah fondasi industri pariwisata dan reputasi ekonomi kreatif Indonesia. Indonesia tidak boleh kehilangan kepercayaan wisatawan global hanya karena pengawasan akomodasi yang lemah,” ucap Yoyok.
“Setiap wisatawan baik yang tinggal di hotel berbintang maupun hostel low-budget berhak atas lingkungan yang aman, higienis, dan dikelola secara profesional,” tutupnya.