
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terhadap 60 sampel rokok elektrik dari berbagai merek dan kadar nikotin yang beredar di pasarandinilai sebagai angin segar bagi perumusan kebijakan berbasis bukti.
Pasalnya, uji laboratorium dalam studi berjudul Evaluation of Laboratory Tests for E-Cigarettes in Indonesia Based on WHO’s Nine Toxicants tersebut menunjukkan, produk tembakau alternatif memiliki kandungan zat berbahaya dalam jumlah yang jauh lebih rendah daripada tiga jenis tembakau konvensional.
“Kita apresiasi hasil penelitian BRIN. Ini sebuah terobosan baru. Saya menghargai langkah BRIN dalam melakukan penelitian yang berbasis bukti ilmiah. Setiap penelitian yang dilakukan secara independen dan terukur tentu memberi tambahan perspektif bagi pembuat kebijakan,” kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Golkar, Yahya Zaini.
Menurut anggota komisi IX yang membidangi kesehatan ini, penelitian BRIN hendaknya menjadi pertimbangan terhadap regulasi mengenai produk hasil tembakau yang sedang disusun Kementerian Kesehatan, misalnya Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) Tembakau mengenai standardisasi kemasan serta pengaturan bahan tambahan produk tembakau.
Aturan yang disusun sebagai aturan turunan UU Kesehatan dan PP Kesehatan juga perlu memperhatikan dampak pada industri, mulai dari petani tembakau hingga buruh pabrik.Yahya menegaskan, keberadaan produk tembakau alternatif bukan serta merta bebas risiko, tetapi tetap memiliki risiko kesehatan bagi siapa saja yang mengonsumsinya.
Meskipun begitu, hadirnya penelitian semacam ini di Indonesia menjadi angin segar dalam memperkaya perspektif bagi perumus aturan. “Penelitian seperti ini harus ditempatkan dalam konteks yang proporsional sebagai bagian dari evidence base untuk kebijakan publik, bukan sebagai justifikasi untuk melonggarkan pengawasan,” kata Yahya.
Sesuai WHO Pengujian yang difokuskan pada sembilan senyawa toksikan utama sebagaimana ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni formaldehida, asetaldehida, akrolein, karbon monoksida, 1,3-butadiena, benzena, benzo[a]pyrene, serta dua nitrosamin spesifik tembakau (NNN dan NNK) ini telah dilakukan berdasarkan metodologi yang sesuai.
Sebagai inovasi dari produk tembakau, riset ini telah melalui pengujian yang dilakukan di laboratorium independen dan terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN), serta diakui (International Laboratory Accreditation Cooperation (ILAC). Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi langkah awal yang nantinya dapat berperan dalam penyusunan kebijakan sehingga regulasi yang dirumuskan akan berbasis data.
Adanya riset ini juga menjadi pelengkap dari berbagai pengujian di luar negeri yang telah ada, sebab bahan baku, komposisi dan proses dari produk yang beredar dapat berbeda sesuai dengan negara masingmasing.
“Sebelum melarang-larang, ini kan kami ingin membuat database, seperti apa kondisinya di lapangan. Kan kita banyak katanya-katanya dari luar negeri. Nah, kami memotret Jabodetabek ini mudah-mudahan mewakili Indonesia karena kota-kota besar juga mirip. Potretnya seperti tadi itu, bahwa [rokok elektronik] risikonya lebih rendah, tetapi tidak bebas risiko ya,” kata peneliti BRIN, Bambang Prasetya, dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa (12/11) lalu.