
Awal 1990-an, Jerry Sternin datang ke Vietnam dengan sebuah tugas yang menantang. Dia yang bekerja untuk Save the Children ditugaskan memimpin Tim untuk mengatasi malnutrisi anak.
Waktunya singkat, cuma enam. Sumber daya, termasuk anggarannya juga sangat terbatas. Barangkali ini tugas yang sangat menantang mengingat situasinya yang memang berat. Kemiskinan struktural, sanitasi buruk, dan akses air bersih yang minim.
Banyak pakar sebelum dirinya telah mendiagnosis masalah ini secara akurat. Namun semua analisis itu, dalam istilah Sternini, hanyalah true but useless : benar, tetapi tidak membantu anak-anak yang kelaparan hari ini. Dia tahu situasinya lebih dari diagnosis pakar-pakar sebelumnya itu. Banyak hal yang belum diungkapkan.
Karenanya, alih-alih menambah laporan atau menunggu perubahan sistemik, Sternin melakukan sesuatu yang sederhana namun kena. Ia mendatangi para ibu di desa dan menanyakan: apakah ada anak-anak dari keluarga yang sangat miskin, tetapi tetap sehat?
Jawabannya ada.
Dari sanalah ia menemukan titik terang, sebuah jalan untuk mengatasi masalah mal nultyrisi itu. Dia mendapati bahwa anak-anak keluarga miskin namun sehat itu ternyata memiliki ibu yang sejatinya tidak punya uang lebih, namun mereka memberi makan mereka lebih sering, menyuapi secara aktif. Ibu-ibu juga menambahkan menu yang selama ini diremehkan, seperti udang kecil dan daun ubi jalar.
Praktik-praktik ini tidak datang dari luar, dan sudah menjadi tradisi mereka. Praktik itu sudah hidup di tengah masyarakat itu sendiri.
Sternin lalu mengadopsi praktik itu. Dia beri anak-anak yang menderita malnutrisi itu dengan apa yang dipraktekkan ibu-ibu itu.
Hasilnya, enam bulan kemudian, sebagian besar anak-anak yang mengalami malnutrisi itu menunjukkan perbaikan gizi yang signifikan.
Akhirnya pendekatan ini juga dilakukan pada jutaan anak lainnya.
Praktek sehat itu ditulis Chip Heath dan Dan Heath dalam dalam bukunya Switch : how to change things when change is hard. Inti dari buku ini adalah menjawab pertanyaan: "Bisakah Anda membuat orang mulai berperilaku dengan cara baru?"
Dan yang menarik, mungkin itu juga yang menunjukkan kebaruannya, buku ini banyak berbicara tentang perubahan yang tidak hanya soal kemauan keras semata.
Switch mengajak kita memahami bahwa perubahan sering gagal bukan karena orang malas atau menolak, melainkan karena arah tidak jelas, emosi tidak tergerak, atau lingkungan tidak mendukung.
Dan Sternin berhasil karena tanpa sadar ia melakukan ketiganya sekaligus. Dia memberi arah yang konkret, menyalakan harapan emosional, dan menciptakan situasi sosial yang memudahkan perubahan.
Pola yang sama muncul di berbagai kisah lain dalam Switch. Ketika Donald Berwick memimpin 100.000 Lives Campaign di Amerika Serikat. Berwick melancarkan kampanye itu karena menemukan bahwa tingkat "cacat" atau kesalahan dalam perawatan kesehatan sangat mengejutkan, yakni setinggi 1 dari 10 kasus.
Artinya, sekitar 10 persen pasien tidak menerima perawatan yang seharusnya (misalnya, tidak menerima antibiotik tepat waktu).
Angka ini jauh lebih buruk dibandingkan industri lain yang biasanya memiliki tingkat kesalahan 1 dari 1.000.
Akibatnya, puluhan ribu pasien meninggal setiap tahunnya secara tidak perlu
Dia lalu menetapkan tujuan kampanyenya dengan sangat jelas dan membawa manfaat emosional: menyelamatkan 100.000 nyawa dalam tenggat waktu tertentu. Ia juga membuat langkah-langkah praktis yang mudah diterapkan rumah sakit.
Misalnya, untuk mencegah pneumonia pada pasien yang menggunakan ventilator, staf rumah sakit diinstruksikan untuk mengangkat kepala pasien antara 30 hingga 45 derajat. Tujuannya, agar sekresi oral tidak masuk ke dalam saluran napas (tenggorokan. Hasilnya bukan sekadar perbaikan kecil, melainkan puluhan ribu nyawa yang terselamatkan.
Di sini, perubahan tidak digerakkan oleh teori abstrak, tetapi oleh kombinasi arah yang tegas, empati yang menyentuh, dan sistem yang mempermudah orang untuk berbuat benar.
Begitu pula yang dilakukan Paul Butler ketika menyelamatkan Burung Beo St. Lucia dari kepunahan. Ia tidak mengandalkan hukuman atau patroli bersenjata. Ia mengubah cara masyarakat memandang burung itu; dari sekadar satwa liar menjadi simbol identitas bersama.
Nah, saat orang merasa “ini milik kita,” perilaku pun berubah. Dan perubahan yang bertahan lama ternyata sering berakar pada identitas, bukan sekadar insentif.
Di ranah pendidikan, Molly Howard menunjukkan hal serupa ketika memperkenalkan nilai “Belum” (Not Yet). Dengan satu kata sederhana, ia menggeser cara siswa memaknai kegagalan. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai akhir, melainkan sebagai proses. Perubahan sistem penilaian ini membentuk pola pikir bertumbuh dan, perlahan, mengubah budaya belajar di sekolahnya.
Semua kisah ini, dari desa-desa di Vietnam hingga rumah sakit modern dan sekolah menengah, mengarah pada satu pelajaran yang sama: perubahan besar jarang dimulai dari langkah besar. Ia hampir selalu berawal dari hal-hal kecil yang jelas, bermakna, dan bisa dilakukan hari ini.
Jerry Sternin, Donald Berwick, Paul Butler, dan Molly Howard memberi kita pemahaman bahwa manusia tidak hanya digerakkan oleh logika, atau emosi, atau struktur semata, melainkan oleh ketiganya yang saling selaras.(*)
DAFTAR PUSTAKA
Heath, C., & Heath, D. (2010). Switch: How to change things when change is hard. Broadway Books.
Pascale, R. T., Sternin, J., & Sternin, M. (2010). The power of positive deviance: How unlikely innovators solve the world’s toughest problems. Harvard Business Press.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #