Opini
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR RI) pada hari Jumat, 18 Mar 2016 - 16:30:17 WIB
Bagikan Berita ini :

Ahok, Detonator Diaspora Cina dalam Politik Indonesia

79f9711c681e9ae1ff8b01f819b654876978cfe32f.jpg
Djoko Edhi S Abdurrahman (Sumber foto : Istimewa)

Kasus Ahok untuk menjadi kekuasaan politik adalah test case yang pertama di Indonesia. Jika Ahok sukses menjadi Gubernur DKI Jakarta periode mendatang, maka seluruh jabatan politik bisa diduduki diaspora asing, termasuk presiden, gubernur, bupati, walikota, layer 1, 2, 3 di pemerintahan.

Dari sisi assimilasi, hak azasi, dan hukum tampak baik. Namun dari kutub ekstrim lainnya, pandangan seperti itu paradoksal. Sebab, assimilasi, hukum, hak azasi, dan demokrasi tidak dapat dijamin berhasil dilaksanakan. Tingkat kesulitannya pada metode dan aplikasi rekayasa sosial (social engineering) oleh otoritas negara yang wajib melakukan perubahan sosial, bukan perbaikan sosial.

Agen perubahan ini pada otoritas sosiologis, ialah kelas menengah. Kelas bawah sama sekali tidak berperan. Selain peran kelas menengah, peran signifikan diyakini oleh sosiologi adalah kelas atas karena perubahan membutuhkan modal.

Pada kasus Ahok, kelas menengah telah menunjukkan ketidaksetujuannya, sementara kelas bawah setuju. Jadi, terjadi kontra antara kelas menengah versus kelas bawah. Indikator itu menjelaskan kegagalan social enginering, baik assimilasi, hukum, dan politik. Kegagalan itu juga menunjukkan demokrasi yang cacat akan memakan ongkos sosial yang tinggi.

Teori kelas menengah bukan sekadar teori prisma yang mengukur dari peran ekonomi. Saya lebih suka kelas menengahnya Max Weber daripada Karl Marx karena lebih analitis. Para intelektual sekalipun miskin pada Weberian adalah kelas menengah. Sedang variabel life stylenya, saya lebih suka LOV (life orientation values) temuan Maui Univ daripada LOVE yang umum.

Social cost itulah yang menjadi hotkey fokus social engineering. Berapa ongkos mengintegrasikan diaspora ke dalam social engineering? Kebanyakan tidak layak. Terlalu mahal dan stag, lalu berantakan.

Sebenarnya kurang pas penggunaan terminologi social engineering mengingat telah dilakukan selama 32 tahun oleh Orde Baru. Saya lebih memilih istilah social reengineering, metode bongkar pasang dari hulu ke hilir akibat sistem demoktasinya yang berubah radikal oleh perubahan konstitusi oleh reformasi.

Setahu saya, kita belum melakukan restrukturisasi social engineering sejak reformasi. Restrukturisasi baru dilakukan pada aspek hukum dan belum selesai, berangkat dari asumsi bahwa hukum merupakan sumber pembentuk perilaku masyarakat.

Pada Orde Baru, Repelita dimulai dari Social Engineering. Presiden Soeharto lebih dulu menyiapkan piranti lunaknya. Yang pertama kali ditetapkan adalah UU Subversif, penerapan PNPS 1963. Fusi parpol, pelarangan SARA dengan ketat, pembagian sektor sosial dan ekonomi, dan integrasi ABRI ke dalam Golongan Karya. Khusus integrasi diaspora menjadi program khusus assimilasionis pembauran dan penghayat kepercayaan. Kemudian dirangkum menjadi azas tunggal Pancasila.

Dari situ dapat diketahui social engineering harus dijalankan secara rigid. Diaspora Cina diberikan tugas spesifik, yaitu menjadi pendukung utama pemutaran roda ekonomi untuk menjalankan Trilogi Pembangunan dengan metode Trickle Down Effect. Diaspora Cina tidak diperbolehkan masuk ke birokrasi layer 1 dan 2.

Toh, itupun ditemukan kegagalan di sana-sini. Masuknya Bob Hasan menjadi Menteri Perdagangan adalah anomali dari system itu yang pada akhirnya memakan cost sangat tinggi. Peristiwa 13 Mei 1998 adalah costing yang harus dibayar lebih mahal dari kegagalan social engineering di mana diaspora Cina menjadi sasaran anarkis massal. Padahal, saat itu UU Subvesif masih berlaku, hubungan diplomatik dengan Cina Daratan masih terputus, dan hak-hak demokrasi diaspora masih terbatas.

Kini, fenomena Ahok menyadarkan bahwa negara belum menyiapkan piranti lunak pembangunan dalam social engineeringnya. Sekonyong-konyong kelas menengah menolak Ahok, dalam pada itu, kelas bawah menerima Ahok. Konflik ini akan berkepanjangan.

Tak ada masyarakat negara yang terbentuk secara natural. Ia senantiasa dibentuk oleh social engineering. Kita selain tidak melakulan social reengineering, mendorongnya secara liberal, lalu tak berdaya menghadapi liberalisme kanan dan liberalisme kiri.

Pada kasus diaspora Cina, modal yang masuk mengubah liberalisme ke arena konflik horizontal antar kelas. Dan detonatornya adalah Ahok.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Rasionalitas Warga Waras

Oleh Beathor Suryadi
pada hari Jumat, 06 Jun 2025
Seorang tokoh nasional mengaku memiliki ijazah sarjana yang terbit pada 1985. Namun, skripsinya baru dibuat pada 2018. Dugaan pemalsuan itu semula luput dari perhatian publik. Ijazah cukup ...
Opini

MENDENGAR OBAMA YANG MENDUKUNG HARVARD UNIVERSITY, MELAWAN DONALD TRUMP

Barack Obama bukan hanya mantan Presiden Amerika Serikat. Ia juga alumni Fakultas Hukum Universitas Harvard. Ketika saya membaca pernyataan publik Obama yang membela kebebasan akademik dan ...