DI ERA 1970an, kedudukan Pertamina sebagai perusahaan nasional milik negara (BUMN) sangat kuat untuk menopang bisnis migas di seluruh wilayah Tanah Air. Itu setelah terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina).
Pada Pasal 5 UU itu, disebutkan bahwa tujuan didirikannya Pertamina adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat dan Negara, serta menciptakan Ketahanan Nasional. Berikutnya, pada Pasal 6 diuraikan, perusahaan bergerak di bidang pengusahaan minyak dan gas bumi yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan.
Dalam Pasal 11 UU Nomor 8/1971, pemerintah atas nama negara memberikan Pertamina seluruh wilayah hukum pertambangan minyak dan gas bumi. Pertamina juga diperbolehkan menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk "Kontrak Production Sharing". Artinya, semua perusahaan asing yang berinvestasi di sektor migas wajib bekerjasama dengan Pertamina.
Besarnya penugasan negara kepada Pertamina tersebut, tentu sah dan dibenarkan karena menguasai hajat hidup orang banyak. Hal itu juga sudah diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Sepanjang 20-40 tahun kemudian, tugas negara yang diemban Pertamina sedikit demi sedikit dilucuti dengan alasan tidak boleh lagi memonopoli sektor itu.
Akibatnya, kini Pertamina dikepung banyak perusahaan raksasa asing. Dulu ada Caltex yang kini berubah nama menjadi Unocal, dan terakhir Chevron. Ada pula Total dari Perancis, BP dari Inggris, Petronas dari Malaysia, ConocoPhillips dari AS, dan sebagainya. Alhasil, kini Pertamina hanya memproduksi sekitar 15% dari total produksi nasional sekitar 790 ribu barel per hari (bph). Selebihnya ditangani 54 perusahaan swasta dan asing.
Bandingkan dengan Senangol, Pertamina-nya Angola, sebuah negara di kawasan Afrika. Perusahaan negara tersebut mampu memproduksi minyak hingga 2 juta barel per hari. Apa hebatnya Pertamina yang kini masuk daftar 122 dari daftar Fortune500? Utangnya Rp 288,4 triliun.
Harga minyak dunia terjun bebas hingga mencapai US$ 61,3 per barel pada 10 Desember 2014. Namun Pertamina tak mampu menurunkan harga jual ke konsumen. Harga solar bersubsidi naik dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500/liter dan premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500/liter. Sebaliknya, pertamax yang tak bersubsidi bisa turun dari Rp 10.200 menjadi Rp 9.950 per liter. Hanya selisih Rp 1.450 dari premium yang bersubsidi.
Dari hitungan bisnis, itu jelas tidak masuk akal. Harga premium bersubsidi Rp 8.500, pertamax yang tak bersubsidi Rp 9.950/liter. Padahal, kualitas pertamax jauh di atas premium. Tapi itulah kenyataan. Pertamina telah ditelikung oleh mafia migas hingga tak mampu menghitung berapa tingkat efisensi produksinya. Lagi-lagi, rakyat dikorbankan demi melindungi mafia yang ada di lingkungan pemerintah, Pertamina, dan pengusaha.
Mampukah Presiden Jokowi membebaskan Pertamina dari rongrongan mafia, atau justru ikut menjadi bagian dari mafia tersebut. (b/np)