Berita
Oleh Syamsul Bachtiar pada hari Jumat, 20 Jan 2017 - 07:21:42 WIB
Bagikan Berita ini :

Revisi PP Penyertaan Modal BUMN Dinilai Langgar Konstitusi

73herigunawan.jpg
Heri Gunawan (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah No. 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN, sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 72/2016.

Dalam PP baru tersebut, terjadi pelonggaran tata cara penyertaan modal negara dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN dengan tanpa harus melalui persetujuan DPR.

Mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan menilai, disahkannya PP No. 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas oleh Presiden RI Joko Widodo inkonstitusional.

Selain itu, lanjut dia, PP tersebut juga bertentangan dengan banyak perundang-undangan terutama Pasal 23 jo. Pasal 33 UUD RI Tahun 1945.

Jelas disitu, ungkap dia, pada PP 72/2016 disebutkan bahwa pemerintah pusat dapat melakukan perpindahan, perubahan kekayaan negara tanpa harus melewati mekanisme APBN dan tanpa harus mendapatkan persetujuan oleh DPR.

"Kami Gerindra mengkritik keras hal tersebut. Sebab, hal tersebut mengarah kepada pelanggaran konstitusi yang serius," tandas Anggota Komisi XI DPR RI ini di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis (19/01/2017).

Untuk diketahui, terang dia, bahwa semua hal yang terkait dengan masalah keuangan dan kekayaan negara merupakan obyek APBN, yang pembahasannya, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi:

Ayat (1): "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undan-gundang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Ayat (2): "Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah."

Ayat (3): "Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu."

Sebagai obyek APBN, kata dia, maka setiap bentuk pengambilalihan atau perubahan status kepemilikan saham yang termasuk kekayaan negara haruslah sepengetahuan dan mendapatkan persetujuan DPR.

"Itu juga merupakan ketentuan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pemerintah tidak bisa seenaknya merusak mekanisme ketatanegaraan dengan menyusun aturan yang bertentangan dengan undang-undang, dan bahkan konstitusi," tegas ketua DPP Gerindra ini.

Menurutnya, Jika pemerintah tetap ngotot untuk meloloskan PP No. 72/2016 tersebut, maka hal tersebut bisa dianggap sebagai upaya untuk menggunting pengawasan DPR terhadap BUMN.

"Dan lagi-lagi, upaya tersebut bisa dikualifikasi sebagai tindakan yang melanggar konstitusi," tandasnya.

Sebab, lanjut Heri, UUD 1945 telah mengamanahkan DPR untuk melakukan pengawasan terhadap setiap kebijakan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

"Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan."

"Ini adalah preseden yang tidak baik bagi usaha mewujudkan tata bernegara yang baik. Sebelumnya, pemerintah sudah membuat berbagai preseden buruk dalam pengelolaan BUMN," ungkapnya.

Sebagai contoh, beber dia, pembiayaan infrastruktur dengan mendorong BUMN untuk membuat utang-utang sendiri, seperti yang dilakukan sejak 2015 lalu.

Menurutnya, Apa yang dilakukan pemerintah terhadap BUMN dalam kaitannya dengan proyek pembangunan infrastruktur ini bisa dianggap sebagai bentuk fait accompli terhadap pengawasan DPR.

"Pengguntingan peran DPR dalam hal pengawasan terhadap pengalihan kekayaan negara sangat berbahaya. Pemerintah seolah-olah ingin berjalan tanpa kontrol," sindirnya.

"Sebab itu, saya menolak keras adanya penerbitan PP No. 72/2016 yang berpotensi menghilangkan fungsi pengawasan DPR dalam pengalihan aset BUMN," imbuhnya.

Terkait hal tersebut, Heri menyarankan agar pemerintah memperhatikan beberapa faktor.

"Pertama, penerbitan PP No. 72/2016 harus dibatalkan karena sangat berbahaya dan dianggap sebagai hal yang merusak sistem tata negara yang terbuka, demokratis, dan dapat dipertanggungjawabkan," tegasnya.

Kedua, lanjut dia, pemerintah perlu mengklarifikasi jangan-jangan penerbitan PP No. 72/2016 tersebut terkait erat dengan rencana Kementerian BUMN yang meminta Pertamina untuk mengakuisisi Perusahaan Gas Negara (PGN) yang sudah menjadi hal kontroversial.

"Untuk diketahui, Pertamina adalah perusahaan negara yang seratus persen sahamnya dimiliki pemerintah, sementara PGN adalah BUMN yang sudah go public dan sebagian sahamnya dimiliki asing. Atau jangan-jangan ada hal lain. Yang pasti, ada banyak keanehan dalam penerbitan PP tersebut," ujarnya.

Ketiga, lanjut dia, Pada prinsipnya, pengesahan PP 72 tersebut bisa dikualifikasi sebagai cara semena-mena pemerintah melakukan penjualan atas aset-aset negara tanpa sepengatahuan lembaga pengawas pemerintah, yaitu DPR sebagai representasi rakyat.

"Artinya Pemerintah pusat tidak melibatkan rakyat dalam setiap pembahasan kebijakan yang akan disahkan. Pertanyaan besar yang muncul adalah, akankah peristiwa dijualnya Indosat (sebagai salah satu aset negara) kepada pihak asing akan terulang kembali?," sindirnya. (icl)

tag: #komisi-vi-dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement