DEMI menumpas praktik politik uang, kini negara mencoba memberikan stimulus kepada kalangan partai dan mereka yang lolos ke Senayan menjadi wakil rakyat. Bentuk stimulus itu adalah uang subsidi ke partai-partai.
Nominalnya sekarang sedang menjadi perdebatan. Ada yang berpendapat Rp 1 triliun cukup, tapi pendapat lain bilang jauh dari cukup. Yang lain menyebut Rp 15 triliun pun pas-pasan. Stimulus itu diberikan untuk mencegah partai mendapat atau mencari sumber dana yang tidak legal, seperti mengorek-ngorek berbagai proyek yang didanai oleh anggaran pendapatan daerah (APBD) maupun anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Pejabat Kementerian Keuangan seperti dikutip Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, uang siluman. Orang partai di DPR maupun DPRD bisa berkongkalikong dengan pejabat kementerian atau satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) mengatur proyek. Itu sebabnya Ahok, sapaan Basuki, berani menyebut DPRD sebagai sarang begal APBD.
Aparat penegak hukum sedang diuji untuk membuktikan bahwa tudingan Ahok benar adanya. Juga sebaliknya, adakah pejabat yang juga berinisiatif mencari dan membagi-bagi proyek pemerintah ke para koleganya. Tanpa pembuktian, tudingan-tudingan itu hanya akan menjadi debat kusir, fitnah, dan bahkan konflik horisontal, karena masing-masing pihak akan mencari dukungan massa. Hingga, masyarakat yang diadu-adu ke sana ke mari. Ibarat gajah berkelahi, pelanduk yang jadi korban.
Stimulus lainnya adalah dalam bentuk dana rumah aspirasi wakil rakyat. Tahun ini, APBN Perubahan 2015 menggelontorkan sekurangnya dana sebesar Rp 1,7 triliun untuk membangun rumah aspirasi tersebut. Di sanalah para wakil rakyat membuat panggung untuk menyerap berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat konstituennya masing-masing.
Para wakil rakyat akan berperan menjadi mediator antara masyarakat dengan pemerintah. Para wakil rakyat akan membawa semua temuan dan aspirasi masyarakat ke rapat kerja (raker), rapat dengar pendapat umum (RDPU), dan rapat dengar pendapat (RDP) dengan para mitra kerjanya di gedung Dewan. Agar upaya menyerap aspirasi itu makin intensif, bahkan DPR pun menambah jadwal masa reses, yaitu rapat di luar gedung dalam setahun. Semula empat kali, kini menjadi lima kali.
Yang penting adalah berapa pun dana aspirasi yang terserap dan dana subsidi partai yang bakal dikucurkan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada publik? Yang terang, masyarakat membutuhkan transparansi
pemanfaatan dana aspirasi dan dana subsidi partai. Efektifkah kucurannya? (b)