JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--PKS memiliki beberapa catatan kritis di bidang energi selama tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK.
Anggota FPKS DPR RI Rofi Munawar menilai kedaulatan energi masih jauh dari harapan dan mengingatkan Pemerintah lebih serius dalam mencapai target yang telah ditetapkan.
“Selama tiga tahun ini kebutuhan energi nasional semakin besar, namun belum mampu diimbangi dengan program bauran energi yang optimal. Energi fosil masih menjadi tumpuan, terlihat dari masih tingginya angka impor minyak hingga belum mampu mempengaruhi pasokan energi mix disektor kelistrikan dan konsumsi publik," Disampaikan Rofi Munawar kepada media, di Jakarta, Sabtu (21/10/2017).
Legislator asal Jawa Timur ini membeberkan sejumlah catatan lainnya. Salah satunya program listrik ambisius 35.000 MW masih menghadapi sejumlah kendala, utamanya finansial dan infrastruktur dasar. Hal ini terbukti dengan adanya Surat nomor S-781/MK.08/2017 yang diteken Sri Mulyani pada tanggal 19 September 2017 menyampaikan lima poin dan menjelaskan mengenai perkembangan risiko keuangan negara atas penugasan infrastruktur ketenagalistrikan yang selama ini dilakukan PT PLN (Persero).
Di sektor kelistirikan, Pemerintah juga harus lebih serius mengamankan pasokan gas untuk PLN dari domestik. Hal ini guna meningkatkan efisiensi pembangkit listrik, serta menurunkan lossess jaringan transmisi dan distribusi listrik nasional.
"Ironisnya dalam pemenuhan kebutuhan gas tersebut, Pemerintah dalam beberapa bulan terakhir anehnya lebih senang mewacanakan importasi gas. Padahal potensi gas yang dimiliki Indonesia masih mencukupi jika saja dilakukan proses inventarisasi yang serius," ujar Rofi.
Di sektor minerba, proses renegoisasi perusahaan Kontrak Karya (KK) yang masih berlarut-larut dan tidak transparan, utamanya mengenai divestasi PT Freeport Indonesia (PT FI).
Beragam perubahan regulasi dan diskriminasi industrial akibat insentif yang tidak sesuai aturan UU berpotensi merugikan Negara. Adapun di sektor hulu migas perubahan skema cost recovery ke gross split ternyata belum mampu mendorong investasi migas lebih baik. Padahal hingga saat ini tren produksi minyak nasional terus menurun dari tahun ke tahun.
"Bahkan blok Mahakam yang secara resmi ditetapkan menerapkan skema gross split secara teknis belum sepenuhnya dilakukan, karena Total Indonesia masih menghendaki 39 persen, padahal sesuai aturan hanya boleh maksimal 30 persen saja," tegas Rofi.
Adapun di sektor hilir migas, Rofi mempertanyakan kelanjutan proyek revitalisasi kilang nasional yang progess-nya hingga saat ini belum jelas. Padahal kilang menjadi salah satu faktor penting dalam rangka kedaulatan energi.
Program Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga, menurut Rofi, masih menyimpan kendala karena semakin membengkaknya biaya operasional PT Pertamina (persero) sehingga kehilangan tambahan pendapatan perusahaan sebesar 12 triliun. Padahal di sisi lain utang pemerintah ke BUMN energi tersebut untuk subsidi BBM sudah mencapai Rp 20 triliun.
"Melihat pengelolaan energi selama tiga tahun terakhir, kedaulatan energi sesuai dengan nawa cita ke-7 nampaknya masih jauh," pungkasnya. (plt)