Opini
Oleh Salamuddin Daeng pada hari Selasa, 18 Jun 2019 - 15:44:45 WIB
Bagikan Berita ini :

Labirin Maskapai Penerbangan

tscom_news_photo_1560847485.jpeg
(Sumber foto : Istimewa)

Sebuah maskapai penerbangan China tengah sekarat karena kewajiban keuangan yang sangat besar. Pada Pada 2017, pihaknya menginvestasikan 15 miliar yuan ke cabang baru bernama CMIG Leasing Holdings Limited yang fokus pada penyewaan pesawat dan logistik.

Pada Oktober lalu, sebuah pesawat Boeing 737 Max menabrak Laut Jawa segera setelah berangkat, menewaskan 189 orang. Ternyata pesawat ini disewakan oleh CMIG ke Lion Air Indonesia, hanya tiga bulan setelah dibeli oleh CMIG.

Kecelakaan Lion Air begitu kuat sehingga merobek kotak hitam, memperpanjang misteri tentang penyebab bencana. Kotak hitam sobek dan tidak dapat menjelaskan sepenuhnya penyebab jatuhnya pesawat dan memicu perdebatan saling menyalahkan antara maskapai penerbangan dan produsen pesawat.

Perusahaan CMIG seperti menemui jalan buntu, setelah sekitar 10 tahun siklus bisnisnya, harga aset naik, sementara pengembalian turun, pada bagian lain terjerat utang dan kontrak beli pesawat dalam jumlah sangat besar.


Bagaimana Lion ?

Kecelakaan pesawat Boeing Co. (BA.N) yang menewaskan 189 orang di Indonesia meningkat menjadi perselisihan US $ 22 miliar antara pembuat pesawat dan salah satu bos penerbangan paling berpengaruh di Asia. Demikian diberitakan Bloomberg.

Kontrak yang tidak dapat dibatalkan karena memiliki konsekuensi yang besar, yakni denda finalti ditegah terpuruknya keuangan maskapai penerbangan tumbuh sebagai raksasa dalam waktu super singkat.

Lion Air adalah pembeli terbesar ketiga dari Boeing yang diperbarui 737. Tetapi tujuh minggu setelah 737 Max jet berusia dua bulan yang dioperasikan terjatuh ke perairan Jakarta.

Rusdi Kirana telah memulai pertengkaran publik dengan pembuat pesawat. Diberitakan bahwa Lion Air sedang menyusun dokumen untuk membatalkan pesanan 22 miliar dolar AS dengan Boeing karena, kata Kirana. Alasannya pabrikan itu secara tidak adil melibatkan perusahaan penerbangan miliknya dalam bencana tersebut.

Banyak analis keuangan mengatakan hampir mustahil untuk membatalkan pesanan pesawat secara tegas tanpa penalti finansial. Lion air juga tidak memiliki cukup keberanian untuk membatalkan pembeian tersebut. Menurut rencana maskapai sepenuhnya akan membayar hingga akhir tahun 2020. Sementara sekarang kinerja keuangan Lion Air kian merosot.


Darimana Uangnya?

Lion Air sebagaimana maskapai penerbangan lain di Indonesia yakni Garuda menghadapi masalah yang sama sekarang, yakni kesulitan cash flow. Tiker mahal telah menyebabkan sepinya penerbangan dan menurunkan cash flow perusahaan secara significant. Jangankan untuk membayar pesawat, untuk menutupi operasional sehari hari saja rasanya tidak sanggup. Belum lagi harus membayar utang utang yang sudah terbentuk dan menjalankan kewajiban atas tiket pesawat yang sudah terjual.

Industri penerbangan tanah air tampaknya akan gulung tikar, hanya tinggal tunggu waktu saja. Bagi Garuda mungkin masih berharap akan adanya subsidi atau penyertaan modal dari pemerintah. Namun ditengah APBN sedang kosong tampaknya opsi inipun akan sangat sulit.

Sementara ikatan pembeian pesawat ini melalui agensi kredit ekspor (ekport credit Agency) yang mencari resiko politik untuk mendapatkan jaminan negara apabila terjadi gagal bayar atas pesawat pesawat yang telah dikirim, sehingga segala kewajiban bisa dibebankan kepada negara. Mengapa ? Karena negara dianggap gagal menjalankan prinsip perlindungan investasi (investment protectiion) yang diatur dalam perjanjian internasional.

Sebagaimana diketahui Boeing sudah mendapatkan kucuran kredit dari pemerintah AS pasca Krisis 2008. Jaminannya adalah kontrak dengan pembeli pesawat yakni Lion Air dan Garuda sebagai pembeli terbesar. LIon Air kemungkinan besar mengambil sumber dana dari Tiongkok untuk menalangi terlebih dahulu Lau menyewa pesawat dari sana. Tapi mitranya CMIG mengalami masalah yang tidak kecil yakni kemampuan membayar kewajiban yang makin merosot.

Ini adalah masalah besar bagi Indonesia, bukan hanya bagi Air dan Garuda, dua maskapai dalam
Duopoli penerbangan sudah terlanjur menjadi sandaran industri penerbangan tanah air, namun kontrak pembelian pesawat Boing dan Airbus oleh dua maskapai tersebut berada dalam jaminan negara. Masalah ini tak akan bisa dihindari. Ibarat pesawat turbulensi keras dan kehabisan avtur di udara mau mendarat cilaka, tapi mau melanjutkan penerbangan tak mungkin.

Sementara APBN tak berdaya menalangi masalah perusahaan penerbangan yang berguguran seperti Ini. Kondisi keuangan yang dihadapi maskapai dan pemerintah menjadi semacam perlombaan berlari adu kecepatan masuk jurang. Simaklah demgan seksama. Jadi bagaimana nasib rakyat, tiket mahal, dan pelayanan penerbangan ke depan. Ini seperti berada dalam pusaran labirin yang tak terpetakan.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

MEMBACA ABOLISI TOM LEMBONG

Oleh Faidal Bintang
pada hari Jumat, 01 Agu 2025
TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Presiden Prabowo Subianto membuka lembaran baru dalam sejarah hukum Indonesia dengan memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih ...
Opini

GEMPA POLITIK DI SOLO: PRABOWO, AMNESTI, DAN TAFSIR BARU HUBUNGAN DENGAN PDIP

Dari Surat Presiden ke Getaran Politik Pada 30 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto mengirim dua Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI: Surpres Nomor R‑42/Pres/07/2025 tentang pemberian ...