Jika Cina menempuh jalan menjadi pabrik dunia, maka Indonesia perlahan terbentuk sebagai pasar dunia. Di tengah ketimpangan global yang semakin kompleks, Indonesia—dengan 280 juta penduduk, kekayaan sumber daya alam, dan posisi strategis di jalur perdagangan internasional—telah menjadi ladang subur bagi penetrasi berbagai kekuatan asing.
Namun pertanyaan esensial kini muncul: Siapa yang paling diuntungkan dari status Indonesia sebagai pasar? Dan apa dampaknya bagi masa depan kedaulatan bangsa?
I. Indonesia: Dari Negara Produsen ke Konsumen Global
Tiga dekade reformasi membawa Indonesia menjadi negara demokrasi besar, namun belum menjadikannya produsen utama peradaban modern.
Sebaliknya, Indonesia kini adalah:
Pasar terbesar ke-4 dunia untuk e-commerce.
Salah satu pasar otomotif dan kendaraan listrik terbesar di ASEAN.
Lahan ekspansi fintech, startup, dan super-app luar negeri.
Target utama barang manufaktur murah dari Tiongkok, India, hingga Korea Selatan.
Menurut data BPS dan World Bank (2023):
Neraca perdagangan dengan Tiongkok mencapai surplus barang mentah, tapi defisit tajam pada produk teknologi tinggi.
Dari 10 merek ponsel terlaris di Indonesia, hampir semuanya berasal dari luar negeri (Xiaomi, Oppo, Samsung, Apple, dll).
Dari 10 startup teknologi terbesar di Indonesia, banyak yang bergantung pada modal ventura asing, dari Sequoia, Alibaba Group, hingga Softbank.
II. Tiongkok: Pemain Dominan dalam Ekonomi Indonesia
Setelah reformasi ekonomi dan masuknya Tiongkok ke WTO tahun 2001, negeri tirai bambu dengan cepat menguasai arus barang, teknologi, bahkan proyek infrastruktur strategis di Indonesia.
Jejak Tiongkok di Indonesia:
1. Perdagangan:
Pada 2022, nilai perdagangan Indonesia–Tiongkok mencapai lebih dari USD 110 miliar.
Sebagian besar ekspor Indonesia berupa komoditas mentah (batu bara, nikel, kelapa sawit), dan impor berupa barang manufaktur, alat berat, elektronik.
2. Infrastruktur dan Investasi:
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung dibiayai oleh pinjaman dari China Development Bank.
Kawasan industri Morowali menjadi simbol investasi Tiongkok dalam hilirisasi nikel—tetapi sebagian besar teknologi, alat berat, dan tenaga ahli tetap diimpor dari Cina.
3. Dominasi Teknologi dan Konsumerisme:
Super-app seperti TikTok, Shopee (dengan dukungan Tencent), dan Alipay secara efektif mendominasi gaya hidup digital anak muda Indonesia.
Produk elektronik, mainan, pakaian, hingga aksesoris—90% didatangkan dari manufaktur Cina.
III. Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan: Kuasa Pasar Alternatif
Tiongkok bukan satu-satunya yang melihat Indonesia sebagai “pasar basah.” Perusahaan dari Amerika Serikat (Google, Meta, Apple), Jepang (Toyota, Honda, Uniqlo), dan Korea Selatan (Samsung, Hyundai, K-pop) turut serta dalam memetakan konsumen Indonesia.
Google dan Meta memperoleh pendapatan triliunan rupiah dari iklan digital tanpa membangun pabrik di Indonesia.
Produk budaya populer Korea Selatan merambah Indonesia lewat drama, K-pop, fashion, dan kosmetik.
Industri otomotif Jepang masih menguasai lebih dari 90% pangsa mobil di Indonesia.
IV. Apa yang Kita Pertaruhkan?
1. Deindustrialisasi Prematur
Indonesia mengalami penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB sebelum menjadi negara maju. Barang dari luar lebih murah daripada produksi dalam negeri.
2. Ketergantungan Teknologi Asing
Ekosistem startup dan digital economy kita dibangun di atas platform dan API asing. Sementara produk lokal sering terhambat skalabilitas dan modal.
3. Lemahnya Negosiasi dan Transfer Teknologi
Proyek strategis sering berjalan tanpa transfer teknologi yang memadai, menjadikan Indonesia sebagai pengguna, bukan pencipta.
V. Jalan Menuju Kemandirian: Apakah Masih Mungkin?
Indonesia bisa belajar dari Cina: kombinasi negara kuat, rencana jangka panjang, dan etos kerja keras rakyat.
Tapi jalan itu membutuhkan:
Kebijakan industrialisasi jangka panjang, bukan hanya tambang dan ekspor mentah.
Reformasi pendidikan dan vokasi teknologi untuk membentuk SDM unggul.
Kemitraan strategis dengan investasi yang membawa nilai tambah, bukan sekadar konsumsi.
Kunci utamanya: membangun Indonesia sebagai produsen nilai tambah, bukan hanya pasar untuk konsumsi asing.
Dari Konsumen Menjadi Kontributor
Di dunia yang didominasi oleh kekuatan besar, Indonesia bisa memilih: tetap menjadi pangsa pasar raksasa, atau menjadi bangsa yang berdiri di atas kekuatan produksi dan inovasinya sendiri.
Kita tak boleh hanya puas sebagai konsumen produk Tiongkok, Amerika, atau Korea. Kita harus menjadi produsen peradaban, yang menawarkan gagasan, nilai, dan teknologi dari bumi Nusantara.
Karena masa depan Indonesia bukan ditentukan oleh apa yang dibeli dari luar, tapi oleh apa yang diciptakan dari dalam.
Jakarta, 28 Juli 2025
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #