TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Ketika Prabowo Subianto terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke-8, sejarah mencatat bahwa ini bukan hanya kemenangan politik individu, tetapi klimaks dari sebuah perjuangan ideologis dan moral yang telah dirintis sejak generasi sebelumnya. Banyak yang tergoda untuk mengatakan bahwa kemenangan Prabowo adalah buah dari dukungan politik Presiden Joko Widodo, namun narasi seperti itu justru berisiko mengaburkan akar historis perjuangannya: bahwa ia adalah anak dari Prof. Soemitro Djojohadikusumo, seorang arsitek ekonomi Indonesia dan negarawan yang hidup dan wafat dalam pengabdian kepada bangsa.
Prof. Soemitro: Pikiran Besar untuk Negara yang Mandiri
Prof. Soemitro Djojohadikusumo bukan hanya seorang ekonom. Ia adalah intelektual organik yang menjembatani antara pemikiran liberalisme klasik dan nasionalisme ekonomi. Ia adalah pengusung konsep ekonomi pasar yang berorientasi pada pembangunan nasional, di mana negara memainkan peran strategis dalam mengarahkan pertumbuhan industri, teknologi, dan ketahanan nasional.
Ia dikenal sebagai pencetus program “ekonomi pembangunan”, dan menjadi salah satu pelopor industrialisasi di masa awal kemerdekaan. Dalam banyak kesempatan, Soemitro menekankan pentingnya kemandirian ekonomi nasional sebagai prasyarat kedaulatan politik. Ia sering kali berbicara tentang “ekonomi yang kuat hanya dapat dibangun oleh negara yang percaya diri terhadap potensi bangsanya sendiri.”
Dalam pengasingannya pasca peristiwa politik tahun 1950-an, Soemitro tidak menyerah. Justru ia semakin banyak menulis, berpikir, dan mendidik anak-anaknya, termasuk Prabowo, dengan semangat bahwa pengabdian pada bangsa tidak harus dilakukan dari kursi kekuasaan, tetapi dari ketulusan dan keteguhan prinsip.
Jejak Prabowo di TNI: Antara Cita-cita dan Kontroversi
Prabowo tumbuh dalam bayang-bayang keunggulan intelektual ayahnya, namun memilih jalur militer untuk membuktikan dirinya di medan nyata. Lulus dari Akademi Militer Magelang tahun 1974, kariernya di TNI melesat cepat. Ia dikenal sebagai prajurit terlatih, idealis, dan memiliki insting geopolitik yang tajam.
Sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Prabowo memimpin berbagai operasi penting, termasuk penumpasan gerakan separatis di Papua dan Aceh. Ia juga memiliki pandangan strategis tentang pertahanan negara dan peran Indonesia di tengah rivalitas global.
Namun tak bisa dimungkiri, karier militernya juga menyisakan kontroversi, terutama setelah peristiwa Mei 1998 dan penculikan aktivis pro-demokrasi. Nama Prabowo sempat menjadi simbol keterbelahan opini: antara yang menganggapnya sebagai patriot terzalimi, dan yang menilainya sebagai bagian dari sistem represif Orde Baru. Ia kemudian diberhentikan secara hormat dari militer dan memilih jalur politik untuk melanjutkan pengabdiannya.
Rekonsiliasi 2019: Strategi Politik atau Realisasi Takdir?
Pasca kekalahannya dalam Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo menunjukkan sikap kenegarawanan yang mengejutkan publik: ia menerima tawaran Presiden Jokowi untuk bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Pertahanan. Banyak yang mencibir langkah ini sebagai bentuk "menjual idealisme", namun realitas politik Indonesia memang menuntut pendekatan non-biner.
Rekonsiliasi ini bukan tanpa makna strategis. Dengan masuknya Prabowo ke dalam kabinet, ia mampu:
1. Menjinakkan blok-blok kekuatan lama di internal militer dan elite sipil yang selama ini skeptis terhadap dirinya.
2. Mengamankan basis legitimasi nasional, terutama dari kelompok moderat yang ingin stabilitas di atas polarisasi.
3. Menunjukkan kematangan politik dan kesiapan menjadi pemimpin nasional, bukan sekadar oposisi keras.
Dari sini, Prabowo berhasil mengubah persepsi publik dan elite bahwa ia bukan lagi "masa lalu yang problematik", melainkan simbol transisi menuju masa depan yang lebih kuat dan berdaulat.
Mengembalikan Prabowo kepada Akarnya
Kini, sebagai Presiden terpilih, Prabowo mesti diingatkan kembali kepada akar dan api awal perjuangannya: yaitu amanat seorang ayah dan panggilan Ibu Pertiwi. Prof. Soemitro bukan hanya ayah biologis, melainkan mentor spiritual dan ideologis yang telah memberikan jalan dan bekal nilai-nilai.
Jangan sampai pencapaian hari ini dinisbatkan sepenuhnya kepada kekuasaan yang bersifat sementara. Jokowi bukanlah penentu takdir Prabowo, melainkan alat sejarah yang membuka jalan bagi cita-cita lama untuk terealisasi. Jokowi pun dalam konteks ini memainkan perannya secara efektif, namun sejarah akan menilai siapa yang sebenarnya memiliki akar ide dan visi jangka panjang.
Penutup: Dari Sejarah Keluarga Menuju Masa Depan Bangsa
Sejarah bukan hanya tentang siapa yang menang dalam kontestasi politik, tapi juga tentang siapa yang mampu menjaga garis lurus antara asal-usul dan masa depan. Prabowo adalah anak dari seorang pemikir besar yang menginginkan Indonesia berdikari secara ekonomi, kuat secara militer, dan berdaulat dalam diplomasi.
Kini giliran Prabowo membuktikan bahwa kemenangan politiknya adalah kemenangan nilai, bukan transaksi kekuasaan. Dan publik Indonesia berhak untuk terus mengingatkan: bahwa yang mengantarkannya ke kursi kepresidenan bukan sekadar koalisi, tetapi doa dan dedikasi seorang ayah yang mencintai bangsa ini jauh sebelum banyak orang mengerti makna cinta tanah air.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #