TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat yang menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara kepada Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal sebagai Tom Lembong, menuai sorotan tajam. Salah satunya datang dari mantan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD, yang menilai bahwa vonis tersebut tidak hanya janggal tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar keadilan.
> “Saya sudah baca vonisnya. Ini vonis yang keliru dan bisa berbahaya ke depan,” ujar Mahfud dalam sebuah video yang kini viral di berbagai platform media sosial.
Tom Lembong sendiri divonis bersalah oleh majelis hakim atas dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam kebijakan impor gula saat menjabat Kepala BKPM. Hakim menyatakan bahwa ia telah menyetujui importasi gula tanpa melalui rapat koordinasi dan tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian, yang seharusnya menjadi syarat.
Namun Mahfud MD memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, tidak ada unsur mens rea atau niat jahat dalam kebijakan tersebut.
> “Kalau seseorang membuat kebijakan tanpa keuntungan pribadi, dan dalam kerangka hukum yang fleksibel, maka itu tidak bisa langsung dikategorikan sebagai korupsi. Itu namanya kebijakan publik yang bisa saja salah, tapi bukan kejahatan,” tegas Mahfud.
---
Latar Belakang Kasus
Kasus yang menimpa Tom Lembong bermula dari kebijakan impor gula tahun 2020, di mana ia diduga menyetujui perusahaan swasta sebagai importir tanpa prosedur lengkap. Jaksa menilai tindakan itu menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 500 miliar, meskipun dalam putusan hakim angka tersebut dibulatkan menjadi Rp 194 miliar.
Putusan Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat menyatakan bahwa Lembong terbukti bersalah dan dikenakan hukuman 4,5 tahun penjara serta denda Rp 750 juta.
Banding dan Kejanggalan Putusan
Kuasa hukum Tom Lembong secara resmi telah mengajukan banding pada 22 Juli 2025. Dalam memori bandingnya, terdapat 27 poin kejanggalan yang disorot, antara lain:
Tidak adanya unsur niat jahat (mens rea) dalam pengambilan keputusan.
Ketidaksesuaian antara hasil audit kerugian negara dengan dakwaan.
Pemaknaan rapat koordinasi (rakortas) sebagai “syarat mutlak” tanpa landasan hukum yang eksplisit dalam UU Pangan maupun Perpres 71/2015.
> “Ini bukan korupsi. Ini interpretasi hukum yang sempit dan bisa membahayakan siapa pun yang mengambil keputusan strategis di masa depan,” ujar salah satu anggota tim kuasa hukum.
Praperadilan dan Penolakan
Sebelumnya, Tom Lembong juga telah mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung. Namun permohonan itu ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Putusan No. 113/Pid.Pra/2024/PN Jkt. Sel. Hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka sah secara hukum dan telah sesuai prosedur.
Reaksi Publik dan Implikasi Kebijakan
Pernyataan Mahfud MD menimbulkan gelombang diskusi baru di ruang publik. Banyak pengamat hukum menilai bahwa vonis terhadap Lembong bisa menjadi preseden buruk bagi pejabat publik yang sedang menjalankan tugasnya.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Yenti Garnasih, mengatakan bahwa “putusan ini perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan ketakutan dalam pengambilan kebijakan publik, terutama di sektor strategis seperti pangan.”
---
Refleksi dan Tantangan
Kasus ini kembali menguji batas antara kebijakan publik dan tindakan pidana korupsi. Apakah setiap kebijakan yang tidak sempurna dan berujung kerugian negara secara otomatis masuk dalam delik pidana? Atau justru harus ada garis pemisah yang jelas antara error in policy dan corrupt intention?
Jika banding tidak memberikan keadilan, bukan tidak mungkin Mahkamah Agung akan menjadi panggung selanjutnya bagi perjuangan hukum Tom Lembong.
Penutup
Di tengah keprihatinan publik atas maraknya korupsi, ketepatan dalam menilai niat dan proses dalam kebijakan publik menjadi sangat penting. Seperti yang diungkapkan Mahfud MD, “Kita harus bisa membedakan antara kesalahan administratif dan tindak pidana korupsi.”
Kita semua patut menunggu: akankah pengadilan tinggi memulihkan integritas seseorang yang oleh banyak kalangan dianggap tak bersalah? Atau justru memperkuat putusan yang dinilai menyalahi logika hukum dan keadilan?
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #