TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Energi merupakan salah satu isu penting dan utama dunia. Dalam konteks krisis iklim, penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca berasal dari sektor energi, khususnya pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan gas bumi) yang dipergunakan untuk produksi listrik dan panas, serta bahan bakar transportasi.
Masih bercokol-kuatnya penggunaan energi berbasis fosil, termasuk di Indonesia, menjadi hal serius karena menyumbang besar pada emisi gas rumah kaca (yang lalu makin mempertinggi suhu bumi dan berdampak negatif pada kelangsungan hidup manusia dan seisi bumi). Pada akhir tahun 2022, misalnya, bahan bakar fosil menyumbang hampir 82 persen pada konsumsi energi primer global. Tentu saja ini menjadi perhatian serius untuk bisa segera mengubah energi berbasis fosil ini menjadi energi baru dan terbarukan (EB dan EBT).
Indonesia sendiri masih memiliki ketergantungan besar pada energi fosil (minyak bumi dan batubara). Energi fosil masih mendominasi konsumsi energi nasional, yakni mencapai sekitar 87% dari total konsumsi. Ketergantungan ini terutama pada batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Meski ada upaya peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan terbarukan, energi fosil tetap menjadi sumber utama energi di Indonesia.
Sementara di sisi lain, kehancuran bumi, karena masih dominannya pemakaian bahan bakar fosil, sudah di depan mata. Bumi sedang sekarat. Berbagai upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca masih terus berlanjut. Upaya-upaya yang tertatih, meski terus ada, sering kali dikalahkan oleh keserakahan manusia. Ada saja sekelompok manusia -makhluk yang dominan menguasai bumi untuk kehidupannya dan kehidupan keturunannya kelak - yang masih tetap abai dan tak peduli dengan kenaikan suhu bumi yang masih belum terkendali.
Sementara waktu terus berpacu. Badai, banjir, longsor, kekeringan, gelombang panas, kekurangan pangan dan air -- sebut saja deretan derita lainnya - akan semakin banyak menanti dan menerpa manusia. Tahun 2024 lalu saja terdapat banyak bencana iklim yang terjadi di seluruh dunia. Organisasi Meteorologi Dunia melaporkan lebih dari 600 peristiwa cuaca ekstrem, termasuk 148 yang diklasifikasikan sebagai "belum pernah terjadi sebelumnya", menyebabkan 824.000 orang mengungsi dan menewaskan 1.700 orang. Ini belum termasuk tahun-tahun sebelumnya, dan tahun-tahun mendatang. Belum termasuk dampaknya, seperti kekurangan pangan dan air.
Yang paling terdampak tentu saja mereka yang selalu ada di bagian bawah struktur sosial: kaum miskin papa tak berdaya. Kaum yang suaranya tak terdengar, yang hanya sesekali ada saat pemilihan presiden atau kepala daerah, dan kemudian bisa lenyap tergantikan hitungan untung rugi para penguasa dan pengusaha yang memegang kuasa atas energi (batubara, minyak, dan sebagainya) -- sumber energi yang tak pelak bisa memperkaya segelintir dan terus meminggirkan yang lain.
Bumi makin layu tak berdaya. Tak pelak, perlu makin digerakkan kesadaran dan perubahan kebijakan dari para pengambil kebijakan untuk makin bisa bergerak untuk menyelamatkan bumi - satu-satunya planet yang menjadi tempat tinggal manusia dan keturunannya. Perlu disegerakan peralihan energi dari batubara dan minyak bumi ke energi baru dan terbarukan, yang tentunya bisa lebih ramah untuk bumi.
Dalam konteks Indonesia, Pertamina dan badan usaha milik negara (BUMN) terkait perlu makin menggiatkan berbagai inisiatif yang berorientasi pada energi hijau, termasuk pengembangan teknologi rendah karbon, CCS (Carbon Capture Storage), dan CCUS (Carbon Capture Utilization and Storage). Selain itu, juga perlu didorong pengembangan energi baru dan terbarukan di masyarakat melalui program-program pemberdayaan berbasis energi terbarukan, seperti Desa Energi Berdikari. Ini tentu bisa dilakukan dengan bergandengan tangan dengan berbagai upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim lain, termasuk dari sektor kehutanan dan lahan.
Saya menyimak di beberapa BUMN terkait sudah ada komisaris barunya. Untuk Pertamina, misalnya, di Pertamina Hulu Energi (PHE) ada beberapa nama seperti Denny JA dan Stella Christie. Saya punya harapan bahwa mereka bisa membawa PHE untuk makin berani melakukan terobosan dan kreativitas guna melahirkan bentuk-bentuk EB dan EBT yang ramah untuk bumi. Juga untuk bisa mendorong Pertamina sebagai BUMN yang bersih dari korupsi, serta mampu menyediakan energi yang inklusif bagi semua rakyat.
Secara lebih luas, saya juga punya keyakinan bahwa makin banyak orang di Indonesia dari berbagai sektor dan latar belakang yang bisa bergandengan tangan dan bekerja sama untuk terus menciptakan kebijakan yang lebih baik, serta praktik dan inovasi yang menyehatkan bagi bumi dan adil bagi semua. Energi yang ramah bagi bumi tak bisa lagi ditawar-tawar dan ditunda.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #