“Mafia itu nyata. Mereka bukan hanya mengontrol harga, tapi juga sistem.” – Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman
**Pendahuluan: Ketika Pangan Jadi Senjata**
Di pasar tradisional Jakarta, harga beras melonjak ke Rp16.000/kg pada Januari 2025 (data BPS), sementara cabai rawit tembus Rp120.000/kg (Info Pangan Jakarta). Rakyat kecil tercekik, tak mampu membeli kebutuhan pokok. Ironisnya, di saat yang sama, petani seperti Suyono di Klaten, Jawa Tengah, hanya mendapat Rp5.800/kg untuk beras panenannya—jauh di bawah biaya produksi Rp7.000/kg (data Kementan RI, 2025). Di balik krisis ini, tersembunyi jejak mafia pangan: jaringan yang memanipulasi harga, stok, dan sistem untuk keuntungan segelintir elite.
Sebuah diskusi video bersama Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan dua narasumber kritis (YouTube, Januari 2025) membongkar realitas kelam ini. Mafia pangan bukan mitos, melainkan kekuatan sistemik yang menyengsarakan petani dan rakyat. Artikel ini mengupas struktur kartel, langkah pemerintah, dan solusi untuk merebut kembali kedaulatan pangan Indonesia.
**Kisah Suyono: Petani di Ujung Tanduk**
Suyono (48 tahun), petani di Desa Jombor, Klaten, menatap sawahnya dengan pandangan kosong. Musim panen 2024 menghasilkan 5 ton beras berkualitas, namun tengkulak hanya membelinya dengan harga Rp5.800/kg. “Saya terpaksa jual murah. Kalau tidak, beras busuk di gudang saya. Tapi di kota, harganya Rp15.000/kg. Siapa yang untung?” keluhnya. Utangnya untuk pupuk dan benih belum terbayar, sementara anaknya terancam putus sekolah. Kisah Suyono adalah cerminan penderitaan jutaan petani yang terjebak dalam cengkeraman mafia pangan.
**Struktur Kartel: Jaringan yang Menguasai Pangan**
Diskusi bersama Menteri Amran memetakan tiga pola operasi mafia pangan:
1. **Kartelisasi Distribusi**: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU, 2024) melaporkan bahwa 70% distribusi beras dan gula nasional dikuasai segelintir perusahaan. Mereka mengatur harga secara oligopolistik, menciptakan kelangkaan semu untuk memeras konsumen.
2. **Manipulasi Stok**: Kementan RI (2024) menemukan 120.000 ton beras ditimbun di gudang swasta di Jawa Barat, hanya dilepas saat harga pasar tinggi. Praktik ini sengaja memicu inflasi pangan.
3. **Kolusi dengan Aparat**: Ombudsman RI (2023) mengungkap impor gula ilegal 1,5 juta ton di luar kuota resmi, diduga difasilitasi oknum birokrat melalui izin yang “dibocorkan”.
Praktik ini bukan hanya kegagalan pasar, tetapi pengkhianatan terhadap keadilan sosial-ekonomi. Petani merugi, rakyat kelaparan, sementara kartel meraup untung.
**Perang Menteri Amran Melawan Mafia**
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tampil sebagai figur berani. “Saya bukan Menteri pencitraan. Saya perang melawan sistem yang menyengsarakan petani dan rakyat,” tegasnya dalam diskusi tersebut. Langkah-langkahnya meliputi:
- **Operasi Penertiban**: Pada 2024, Kementan menutup 15 gudang penimbunan pupuk ilegal di Sumatra Utara, menyelamatkan petani dari kelangkaan input produksi.
- **Digitalisasi Logistik**: Platform Pasar Mitra Tani dan e-logistik diperkenalkan untuk memotong perantara. Namun, hanya 40% petani kecil yang mengaksesnya karena keterbatasan internet di pedesaan (data Kominfo, 2025).
- **Koordinasi Lintas Lembaga**: Amran bekerja sama dengan KPK dan Polri untuk menindak kolusi di hulu dan hilir rantai pangan.
Meski ambisius, langkah ini menghadapi tantangan: resistensi dari kartel besar, birokrasi yang korup, dan minimnya literasi digital di kalangan petani.
**Dampak Sistemik: Ketimpangan yang Menyakitkan**
Ketimpangan harga antara petani dan pasar adalah bukti nyata pengkhianatan sistemik. Data BPS (2025) menunjukkan margin harga beras antara petani dan konsumen mencapai 150-200%, dengan keuntungan terbesar mengalir ke distributor besar. Konsumen, terutama kelas bawah, terpaksa mengurangi konsumsi pangan bergizi, sementara petani seperti Suyono terjerat utang. Ini bukan sekadar krisis ekonomi, tetapi krisis kemanusiaan.
**Solusi Global: Belajar dari India dan Brasil**
Indonesia bisa mencontoh dua model sukses:
1. **India – E-NAM (Electronic National Agriculture Market)**: India menghubungkan 1.000 pasar lokal ke platform digital, memungkinkan petani menjual langsung ke pembeli. Hasilnya, pendapatan petani naik 15% (Kementan India, 2023). Tantangan Indonesia adalah meniru transparansi ini sambil mengatasi kesenjangan infrastruktur digital.
2. **Brasil – AgTech Blockchain**: Brasil menggunakan teknologi blockchain untuk melacak distribusi pangan, mengurangi penimbunan hingga 20% (FAO, 2024). Indonesia perlu startup agritech yang serupa untuk memastikan keterbukaan harga.
**Catatan Kritis: Transparansi atau Slogan Kosong?**
Meski langkah pemerintah menjanjikan, publik berhak skeptis. Tanpa pengawasan independen, digitalisasi bisa dimanipulasi oleh kartel. Pertanyaan kritis muncul:
- Apakah platform e-logistik benar-benar menjangkau petani kecil seperti Suyono?
- Bagaimana pemerintah menjamin distributor besar tidak mendominasi sistem digital?
- Di mana peran masyarakat sipil dalam mengawasi kebijakan ini?
Tanpa audit publik, perlindungan whistleblower, dan sistem pelaporan masyarakat, pemberantasan mafia pangan berisiko jadi janji kosong.
**Penutup: Ujian Moral Bangsa**
Mafia pangan adalah musuh bersama—mereka mencuri harapan petani seperti Suyono dan memeras rakyat kecil. Pemberantasan bukan hanya tugas Kementan, tetapi ujian moral bagi seluruh elemen bangsa. Apakah kita berani membongkar jaringan yang tersembunyi di balik jubah birokrasi? Ataukah kita memilih diam, membiarkan ketidakadilan berlanjut?
TeropongSenayan.com mengajak pembaca bertindak: laporkan praktik distribusi mencurigakan melalui aplikasi Info Pangan, dukung koperasi petani lokal, dan desak pemerintah untuk transparansi. Kedaulatan pangan dimulai dari keberanian kita bersama.
**Rekomendasi Redaksi**
1. **Buka Dashboard Logistik Nasional**: Pemerintah harus meluncurkan platform publik untuk memantau harga dan stok pangan secara real-time.
2. **Bentuk Komisi Independen**: Libatkan akademisi, petani, dan masyarakat sipil untuk mengawasi distribusi pangan.
3. **Dorong Kolaborasi Lintas Sektor**: Koperasi petani, startup agritech, dan jurnalisme investigatif harus bersinergi untuk melawan kartel.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #