TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Dari rumah duka Santosa—tempat almarhum Kwik Kian Gie disemayamkan—saya menyaksikan penghormatan tulus dari masyarakat terhadap sosok yang konsisten membela kebenaran dan kepentingan rakyat. Di tengah suasana duka itu, saya justru menyimpan harapan: bahwa negeri ini masih memiliki ruang untuk menghargai integritas, keteguhan hati, dan keberanian moral.
Kepergian tokoh seperti Kwik Kian Gie, disusul oleh para pejuang kebenaran lain seperti Faisal Basri dan Rizal Ramli, bukan sekadar kehilangan personal. Ini adalah momen refleksi bagi bangsa. Mereka adalah cermin dari satu pilihan hidup yang menentukan: menjadi pejuang kebenaran atau menjadi penjilat kekuasaan.
Pejuang kebenaran mungkin tidak selalu mendapat tempat di tengah gemerlap kekuasaan, namun mereka meninggalkan warisan kehormatan yang hidup lebih lama dari sekadar masa jabatan atau sorotan media. Sementara itu, para penjilat hanya dielu-elukan selama mereka dekat dengan kekuasaan—dan setelah itu, perlahan dilupakan atau bahkan dihujat karena jejak oportunisme yang mereka tinggalkan.
Sejarah bangsa ini mencatat deretan nama yang memilih jalan lurus nan terjal demi nilai dan integritas:
Drs. Mohammad Hatta, wakil presiden pertama yang memilih hidup sederhana sebagai teladan moral;
Buya Hamka, ulama yang tetap berdiri tegak meski dikriminalisasi kekuasaan;
Jenderal Besar A.H. Nasution, tokoh militer yang menjunjung tinggi konstitusi;
Jenderal TNI (Purn.) M. Jusuf, negarawan yang bersih dan tak silau kuasa;
Jenderal Pol (Purn.) Hoegeng, simbol integritas dalam kepolisian;
Baharuddin Lopa, jaksa agung yang mewariskan keberanian menegakkan hukum;
Adnan Buyung Nasution dan Yap Thiam Hien, pejuang hukum dan HAM yang tak pernah tunduk pada tekanan.
Mereka semua adalah contoh bahwa kemuliaan tidak datang dari jabatan, tapi dari prinsip.
Kita juga tahu, di sisi lain, ada banyak yang memilih jalan sebaliknya: menjual prinsip demi kekuasaan, kenyamanan, dan keuntungan pribadi. Mereka tidak perlu disebutkan—karena sejarah dan rakyat akan menilai sendiri.
Maka pilihannya jelas:
1. Jika ingin dikenang dengan hormat dan meninggalkan warisan moral, jadilah pejuang kebenaran.
2. Jika hanya ingin menikmati kenikmatan sesaat dengan risiko dihina sejarah, jadilah penjilat kekuasaan.
Hari ini, saat negeri kita menghadapi berbagai krisis keadaban, kita semakin membutuhkan hadirnya lebih banyak pejuang kebenaran—di parlemen, birokrasi, dunia usaha, kampus, media, dan ruang publik lainnya.
Selamat berjuang, para pejuang kebenaran. Jangan pernah lelah berdiri di sisi yang benar—meski sunyi dan berat. Karena di ujung jalan itu, ada kehormatan yang tak lekang waktu.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #