Jakarta, TEROPONGSENAYAN.COM - Dalam sejarah republik ini, terpilih secara konstitusional tak pernah menjadi jaminan kebal dari koreksi politik dan etik. Soeharto dilantik secara sah pada 11 Maret 1998, tapi mundur dalam tekanan publik pada 21 Mei tahun yang sama. Abdurrahman Wahid terpilih melalui Sidang Umum MPR 1999, tapi dimakzulkan hanya dua tahun kemudian.
Kini, Gibran Rakabuming Raka melenggang sebagai Wakil Presiden terpilih lewat Pemilu 2024. Proses keterpilihannya disahkan KPU, diperkuat Mahkamah Konstitusi, dan diputus final. Namun sejarah kembali berulang: keabsahan formal diuji oleh suara publik dan moralitas demokrasi.
Tuntutan pemakzulan Gibran yang disuarakan lebih dari 300 purnawirawan TNI bukan sekadar riak politik. Ia mencerminkan kegelisahan etis atas demokrasi prosedural yang tercemar intervensi kekuasaan. Ironisnya, suara kritik itu masih menyisakan ambiguitas: Prabowo Subianto tetap mereka dukung, sementara Gibran diminta disingkirkan. Sebuah logika politik yang membingungkan.
Di sinilah akar soalnya. Keterpilihan Gibran sejak awal mengundang tanda tanya. Putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan dirinya dari syarat usia mencerminkan cacat etika mendalam. Ketua MK saat itu—yang juga paman Gibran—terbukti melanggar kode etik berat karena konflik kepentingan. Komposisi kekuasaan hukum dan politik seperti menjelma menjadi panggung keluarga.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD 1945, pemakzulan memang dimungkinkan. Tapi prosesnya panjang dan kompleks. Harus ada dugaan kuat atas pelanggaran hukum berat: korupsi, pengkhianatan, perbuatan tercela, atau pelanggaran syarat jabatan. Harus pula disahkan oleh dua pertiga anggota DPR, diuji oleh Mahkamah Konstitusi, lalu diputus dalam Sidang MPR.
Dalam kasus Gibran, belum ditemukan bukti hukum baru yang dapat menjadi dasar pemakzulan. Tapi absennya pelanggaran hukum bukan berarti absennya pelanggaran etika. Dan di sinilah tarik-menarik antara moralitas publik dan kekakuan prosedur hukum mengemuka.
Sebagian pakar, seperti Zainal Arifin Mochtar, menyarankan upaya Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MK sebagai jalan koreksi. Tapi mekanisme ini belum dikenal dalam sistem MK yang bersifat final dan mengikat. Maka dilema konstitusional kita kian terang: produk hukum cacat etik tetap tak tersentuh secara legal.
Fenomena Gibran tak bisa dilepaskan dari menguatnya politik dinasti. Dalam bayang-bayang kekuasaan ayahnya, kehadiran Gibran menjadi simbol pergeseran reformasi: dari meritokrasi ke nepotisme. Kritik yang dilayangkan purnawirawan dan akademisi seharusnya dibaca bukan sebagai pembangkangan politik, melainkan seruan untuk mengembalikan demokrasi ke rel etika.
Gibran bisa saja bertahan secara hukum. Tapi ia dan kekuasaan di sekelilingnya tak akan pernah sepenuhnya tenang, selama bayang-bayang krisis legitimasi terus mengikuti. Demokrasi, jika ingin sehat, tidak cukup ditopang prosedur. Ia butuh kepercayaan publik yang tumbuh dari kejujuran proses dan integritas pemimpin.
Dan sejarah telah membuktikan: ketika konstitusi direduksi menjadi alat legitimasi dinasti, koreksi rakyat bisa datang lebih cepat dari yang dibayangkan.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #