Oleh Ariady Achmad dan team teropongsenayan.com pada hari Kamis, 19 Jun 2025 - 10:51:46 WIB
Bagikan Berita ini :

Karakter dan Kedaulatan: Gubernur Aceh di Tengah Kontroversi Pemindahan Empat Pulau

tscom_news_photo_1750305106.jpeg
(Sumber foto : )

Di tengah dinamika politik nasional yang semakin pragmatis, polemik pemindahan status empat pulau dari wilayah Aceh ke Sumatera Utara kembali membangkitkan pertanyaan lama tentang relasi pusat dan daerah, serta integritas tata kelola wilayah di Indonesia. Isu ini tak hanya bersifat administratif, melainkan menyentuh urat nadi identitas dan kedaulatan lokal Aceh — provinsi yang lahir dari sejarah panjang konflik, perundingan, dan perdamaian.

Upaya pemindahan pulau-pulau ini — yang oleh sebagian pihak diduga dilatarbelakangi potensi sumber daya alam yang kaya — mengundang tafsir dan kecurigaan. Bukan hanya publik Aceh yang gelisah, melainkan juga banyak pemerhati hukum tata negara dan keutuhan perjanjian damai.

Pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri, bersama Gubernur Sumatera Utara, mencoba melakukan pendekatan intensif terhadap Gubernur Aceh. Namun, respon dari Gubernur Aceh menjadi peristiwa langka dalam iklim demokrasi yang semakin transaksional. Ia memilih bersikap tenang namun tegas, konsisten dalam prinsip, dan komunikatif tanpa kehilangan kehormatan posisi.

Dalam sebuah wawancara, Gubernur Aceh menyatakan:

“Kepala daerah tidak boleh mudah digoyang oleh bujukan ataupun tekanan. Wilayah Aceh bukan sekadar tanah, tapi harga diri. Kami hormati pusat, tapi kami juga wajib menjaga amanat sejarah.”
— Achmad Marzuki, Gubernur Aceh

MoU Helsinki: Amanat Damai yang Dikhianati Diam-Diam?

MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 menjadi dasar yuridis dan moral yang menegaskan posisi Aceh dalam bingkai Republik Indonesia dengan status khusus. Salah satu pasal penting dalam perjanjian tersebut menyatakan:

Pasal 1.1.2: "Aceh memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri dalam semua bidang pemerintahan publik yang diselenggarakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar negeri, keamanan nasional, moneter dan fiskal, serta agama dan kebijakan luar negeri."

Lebih lanjut, Pasal 1.1.3 menyebutkan:

"Aceh berhak memiliki bendera, lambang, dan himne sebagai simbol kewenangan dirinya dan keistimewaannya sebagai bagian dari NKRI."

Pertanyaan besar kemudian muncul: jika Aceh memiliki wewenang luas, termasuk dalam pengelolaan wilayah administratifnya sendiri, mengapa pemerintah pusat justru melakukan langkah yang secara substansial mengurangi wilayah tersebut tanpa konsultasi menyeluruh dengan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh?

Sikap Tegas yang Didukung Sejumlah Tokoh

Langkah Gubernur Aceh ini mendapat dukungan dari berbagai tokoh dan pengamat. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla — salah satu arsitek damai Helsinki — menyatakan keprihatinannya:

“Kesepakatan Helsinki itu bukan hanya kontrak politik, tapi perjanjian moral. Kalau wilayah Aceh diganggu atau dikurangi tanpa mekanisme yang adil, maka itu bisa menjadi preseden buruk bagi kepercayaan daerah kepada pusat.”
— Jusuf Kalla

Sementara itu, pakar hukum tata negara Prof. Zainal Arifin Mochtar menegaskan:

“Kalau ada perubahan batas wilayah, harus ada dasar hukum dan proses partisipatif. Tidak boleh diam-diam atau hanya berdasarkan kepentingan ekonomi atau politis.”

Tokoh Aceh lainnya, Muzakir Manaf, juga angkat suara:

“Empat pulau itu bagian dari tanah leluhur kami. Jika ada yang mencoba mengambilnya, itu sama saja mengusik perdamaian yang kami perjuangkan dengan darah.”

Narasi Tentang Indonesia yang Perlu Diulang

Peristiwa ini menyiratkan krisis mendalam dalam tata kelola otonomi daerah di Indonesia. Negara ini terlalu sering abai pada makna “setara” dalam hubungan pusat dan daerah. Demokrasi yang seharusnya menjamin hak setiap wilayah untuk didengar, justru dikebiri oleh pendekatan teknokratis dan sentralistik.

Aceh, dengan sejarahnya yang berdarah-darah, justru kini mengajarkan kepada kita semua bahwa integritas bukan berarti perlawanan, dan ketegasan bukan berarti separatisme. Seorang gubernur bisa berkata “tidak” secara konstitusional, tanpa harus dicap anti-NKRI.

Keteguhan Karakter, Pilar Bangsa yang Tergerus

Empat pulau kecil ini telah membuka kembali perdebatan besar: tentang siapa sesungguhnya yang mengawal konstitusi, siapa yang menjaga janji, dan siapa yang masih percaya bahwa memimpin adalah menjaga martabat, bukan sekadar memenangkan pertarungan anggaran atau pengaruh.

Gubernur Aceh telah menunjukkan bahwa karakter pemimpin tidak dibentuk oleh siapa yang mengangkatnya, tetapi oleh siapa yang berani tetap tegak ketika badai datang. Di tengah Indonesia yang demokratis hanya di permukaan, Aceh berdiri sebagai pengingat bahwa kedaulatan dimulai dari prinsip — bukan posisi.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

KOPERASI MERAH PUTIH ITU PRABOWONOMIC

Oleh Yudhie Haryono | CEO Nusantara Centre
pada hari Senin, 16 Jun 2025
Kalian tahu cara memenangkan perang ekonomi dan pertempuran dagang? Adalah dengan "menyehatkan agensi dan lembaga-lembaga ekonomi pancasila" agar kuat dan jenius. Inilah agensi dan lembaga ...
Opini

IMAIBANA Gelar Dialog Publik Menatap Masa Depan Danau Toba, Soroti Antara Potensi Besar dan Tantangan Strategis

Jakarta, 13 Juni 2025 – Destinasi Pariwisata Danau Toba memiliki latar historis yang menakjubkan sebagai danau vulkanik terbesar di dunia dan danau secara umum terbesar di Asia Tenggara. Dengan ...