Presiden Prabowo Subianto memasuki awal masa kepemimpinannya dengan modal politik yang kuat. Survei terbaru LSI Denny JA mencatat tingkat kepuasan publik mencapai 81 persen. Angka ini memberi sinyal bahwa rakyat masih menyimpan harapan besar pada sang presiden.
Namun, di balik angka-angka indah itu, terdapat gejala keresahan yang mulai merayap. Dari tujuh indikator utama yang digunakan LSI untuk mengukur kepuasan publik, dua indikator krusial—lapangan kerja dan harga sembako—telah berstatus rapor merah. Artinya, kepuasan publik di bawah 50 persen. Bila tren ini tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin indikator lainnya akan menyusul.
Pertanyaannya: apa yang menyebabkan dua rapor merah itu muncul? Dan bagaimana jika rapor merah bertambah?
Lapangan kerja dan harga kebutuhan pokok bukan sekadar isu ekonomi. Ia adalah denyut hidup rakyat sehari-hari. Ketika buruh harian tak bisa membeli beras untuk esok hari, atau lulusan sarjana menganggur berbulan-bulan tanpa kepastian, maka ketegangan sosial bisa muncul dalam berbagai bentuk—dari frustrasi diam hingga ledakan amarah.
Survei LSI juga menunjukkan bahwa keresahan ekonomi ini sangat terasa di kelompok etnis seperti Sunda, Batak, dan Betawi. Sementara secara generasi, dua kelompok paling terhimpit adalah milenial dan baby boomer. Milenial menjadi sandwich generation, sementara baby boomer membawa kenangan masa lalu ketika pekerjaan lebih mudah dan harga sembako masih terjangkau.
Ini bukan sekadar statistik—ini adalah wajah konkret dari tekanan sosial-ekonomi yang nyata.
Dua indikator yang merah bisa berkembang menjadi empat atau lima jika akar masalah tidak segera disentuh. Secara teknis, beberapa penyebabnya antara lain:
1. Eksekusi kebijakan yang lambat dan tidak presisi. Program-program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), koperasi rakyat, dan Danantara masih terkendala implementasi teknis di lapangan.
2. Koordinasi antarkementerian yang lemah. Ego sektoral dan perbedaan interpretasi di tingkat pusat dan daerah memperlambat pelaksanaan kebijakan.
3. Minimnya data akurat dan sistem digital terintegrasi. Tanpa sistem pemantauan real-time, pemerintah kesulitan membaca dinamika kebutuhan lokal.
4. Campur tangan politik yang merusak. Program kerakyatan rawan dikorupsi atau dijadikan komoditas proyek oleh elite lokal.
5. Faktor eksternal. Gejolak global seperti konflik Israel–Iran atau lonjakan harga energi bisa mempersempit ruang fiskal dan memperburuk persepsi publik.
Jalan Keluar: Bukan Tambah Janji, Tapi Perbaiki Eksekusi
Untuk mencegah meluasnya rapor merah, pemerintah perlu melakukan koreksi dini. Beberapa langkah konkret yang dapat ditempuh antara lain:
1. Bentuk Delivery Unit Khusus di Bawah Presiden
Unit ini harus memantau eksekusi program prioritas secara harian, memberikan laporan langsung kepada presiden, dan menjadi penghubung antarkementerian.
2. Audit Berkala terhadap Program Strategis
Audit bukan hanya soal anggaran, tapi juga efektivitas dan dampaknya di lapangan. Libatkan lembaga independen seperti BPKP, KPK, serta masyarakat sipil.
3. Transformasi Digital Pelayanan Sosial dan Ekonomi
Bangun aplikasi nasional seperti e-Sembako, e-Koperasi, dan dashboard MBG agar publik bisa ikut mengawasi dan memberi masukan.
4. Dorong Konsolidasi Fiskal dan Keberpihakan Anggaran
Fokuskan APBN pada pemulihan ekonomi rakyat, bukan proyek yang tidak menyentuh kehidupan nyata. Kurangi belanja seremonial, naikkan belanja produktif.
5. Reformasi Birokrasi Berbasis Kinerja
Presiden harus berani mengganti pejabat yang gagal mengeksekusi program prioritas. Buat kontrak kinerja yang terukur dan terbuka untuk publik.
Kredibilitas Dibangun dari Eksekusi, Bukan Retorika
Popularitas Prabowo saat ini memang sangat tinggi. Namun, seperti disampaikan dalam podcast Suara Angka, masa bulan madu politik hanya bertahan 6–12 bulan. Setelah itu, rakyat akan menilai bukan dari janji, tetapi dari dampak nyata.
Jika rapor merah bertambah, konsekuensinya bukan hanya turunnya tingkat kepuasan. Bisa muncul gelombang distrust, pelemahan legitimasi politik, bahkan potensi disrupsi sosial yang lebih luas. Dalam iklim global yang tidak menentu, pemerintah harus menunjukkan bahwa ia bisa dipercaya bukan hanya untuk bicara besar, tapi untuk bekerja tepat.
Rakyat Indonesia, dalam diamnya, sedang menunggu.
Kepercayaan publik adalah aset politik yang mahal. Tapi ia bisa menguap cepat jika tidak dibarengi dengan keberhasilan konkret. Jika pemerintah ingin menjaga momentum kepercayaan, maka satu-satunya jalan adalah dengan menyentuh persoalan rakyat dengan solusi nyata dan eksekusi cepat.
Waktu bergerak cepat. Jika pemerintah lambat, rapor merah akan bertambah. Dan ketika semua indikator menjadi merah, bukan hanya kepuasan publik yang runtuh, tetapi juga kepercayaan terhadap seluruh sistem.
Presiden Prabowo memiliki kekuatan dan kepercayaan awal untuk memperbaiki arah. Tapi seperti pertandingan besar: yang dihitung bukan start-nya, tapi finish-nya.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #