Oleh Redaksi TeropongSenayan.com pada hari Minggu, 13 Jul 2025 - 10:34:07 WIB
Bagikan Berita ini :

Pendidikan Unggul: Jalan Menuju Pembebasan Manusia

tscom_news_photo_1752377647.jpeg
(Sumber foto : )

Di tengah riuh rendah perubahan kebijakan dan kurikulum yang terus-menerus berganti, esensi pendidikan bangsa ini justru makin kabur dari tujuannya. Yudi Latif, seorang intelektual publik dan pemikir kebangsaan, dalam tulisannya yang mendalam, “Pendidikan Unggul”, mengajak kita menengok ulang: untuk siapa dan untuk apa pendidikan kita digerakkan?

Prosedur Berganti, Substansi Tak Terjamah

Pendidikan di Indonesia mengalami gejala stagnasi yang menahun. Setiap rezim pendidikan hadir dengan jargon pembaruan, tetapi perubahan yang terjadi cenderung prosedural—kurikulum dirombak, sistem ujian ditata ulang, lembaga pendidikan diklasifikasikan. Namun, semua itu jarang menyentuh akar persoalan: bagaimana pendidikan benar-benar memanusiakan manusia.

Pernyataan Yudi Latif bahwa pusat perhatian sistem pendidikan selalu "tertumpu pada perubahan prosedur" menjadi kritik tajam terhadap pendekatan teknokratik yang mengabaikan sisi filosofis dan humanistik dari pendidikan. Sistem kita terlalu sering terjebak dalam angka-angka: akreditasi, nilai, ranking, akumulasi sertifikasi—padahal inti pendidikan adalah pembentukan karakter dan kapabilitas manusia untuk hidup bermakna di tengah masyarakat.

Memahat Manusia, Bukan Sekadar Mengajar Pengetahuan

Yudi Latif menyodorkan gagasan bahwa pendidikan sejati adalah seni memahat manusia. Proses ini tidak dapat dilakukan dengan pendekatan satu dimensi. Ia memerlukan kehendak membebaskan, membimbing, dan memperkaya manusia—bukan sekadar mencetak lulusan yang siap kerja, tetapi menciptakan warga negara yang berpikir merdeka, bertindak etis, dan memiliki daya hidup tinggi.

Dalam pandangan ini, pendidikan tidak hanya menyentuh akal, melainkan juga menyentuh jiwa dan hati. Di sinilah pentingnya mengintegrasikan dimensi spiritual, sosial, dan kultural ke dalam proses belajar. Manusia bukan hanya homo economicus, tetapi juga makhluk pencari makna (homo significans), dan pendidikan unggul adalah yang sanggup menuntun pencarian itu.

Kapabilitas, Kebebasan, dan Keadilan Sosial

Gagasan kapabilitas menjadi kunci dari tulisan ini. Yudi merujuk pada pandangan ekonomi Amartya Sen, bahwa manusia harus diberi ruang untuk memilih tindakan yang bernilai. Artinya, pendidikan harus memberi kebebasan, bukan penyeragaman. Ia harus membuka opsi, bukan memaksakan satu jalan sukses.

Namun, kebebasan itu harus ditopang oleh kesetaraan. Tidak semua anak bangsa memiliki akses terhadap pendidikan bermutu. Ketimpangan infrastruktur, distribusi guru, dan kualitas lingkungan belajar menyebabkan mimpi "pendidikan untuk semua" masih jauh dari kenyataan.

Yudi menegaskan pentingnya menyediakan domain (ruang) dan field (medan) agar peserta didik bisa bertumbuh dan berekspresi. Di sinilah urgensinya pemerataan: bukan sekadar soal distribusi bangunan sekolah, tetapi penyediaan ekosistem yang memungkinkan setiap anak, di mana pun ia berada, untuk berkembang maksimal sesuai potensi kodratinya.

Menjadi Generalis Tangguh dengan Keahlian Khas

Di tengah dunia yang makin kompleks dan tidak pasti, pendidikan unggul tidak cukup hanya menyiapkan tenaga kerja. Ia harus melahirkan pribadi-pribadi generalis tangguh—manusia yang mampu melihat keterkaitan antar bidang ilmu, adaptif terhadap perubahan, sekaligus memiliki keahlian khas yang dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat.

Pendidikan semacam ini tak bisa tumbuh dalam ruang hampa. Ia menuntut ekosistem meritokratis, di mana individu dihargai karena kemampuan dan integritasnya. Ia juga memerlukan ekonomi yang inklusif, di mana hasil kerja keras dan kreativitas seseorang mendapat ruang apresiasi dan bukan dikalahkan oleh relasi kuasa dan nepotisme.

Pendidikan, Inovasi, dan Ekonomi: Sebuah Orkestra Harmonis

Yudi Latif menutup tulisannya dengan satu seruan mendasar: pendidikan, inovasi, dan ekonomi harus teranyam dalam satu harmoni. Tidak cukup hanya membenahi sekolah, jika sistem ekonomi dan politik tetap membajak hasil pendidikan. Tidak cukup menciptakan SDM unggul, jika mereka tersingkir karena sistem yang korup atau ekonomi yang tidak adil.

Pendidikan unggul, kata Yudi, tak diukur dari seberapa banyak yang diajarkan, tetapi sejauh mana manusia dibebaskan. Inilah ukuran baru kualitas pendidikan: seberapa mampu sistem mendidik manusia untuk mencipta, memperbarui, dan mengubah dunia.

Penutup: Saatnya Pendidikan Menjadi Gerakan Kebudayaan

Pendidikan yang sejati adalah gerakan kebudayaan. Ia bukan sekadar urusan Kemendikbudristek atau guru di ruang kelas, tapi tugas kolektif bangsa untuk membentuk generasi yang mampu berpikir merdeka dan bertindak arif.

Tulisan Yudi Latif adalah pengingat keras bahwa selama pendidikan masih dikendalikan logika prosedural dan tidak berpihak pada pembebasan manusia, maka Indonesia akan tertinggal bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena kehilangan arah. Pendidikan unggul adalah pendidikan yang membebaskan, memanusiakan, dan membangun peradaban.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement