Opini
Oleh Effendi Ishak pada hari Minggu, 08 Nov 2015 - 10:13:05 WIB
Bagikan Berita ini :

Derita Kehampaan Makna Hidup Manusia Post Modern

84IMG_20150608_095231_1446951922964.jpg
Kaum Urban Jakarta Bagian Manusia Post Modern (Sumber foto : Aris Eko/TeropongSenayan)

Berbagi pengalaman hidup, bagi manusia modern atau post modern saat ini-terutama bagaimana manusia post modern saat ini-memahami dan menghayati keberadaan dirinya, ditengah tengah kehidupan dunia saat ini, adalah sesuatu yang menyedihkan.

Dunia pasca kehidupan modern atau post modernisme yang ditandai dengan semakin meningkatnya krisis kemanusiaan, karena kehidupan yang didominasi oleh menguat dan meningkatnya budaya yang berbasis materialisme. Segala sesuatu, baik dan buruk, dan menilai eksistensi dan keberadaan seseorang, hanya bertumpu pada yang serba materi.

Manusia post modern, kebanyakan waktu hidupnya, hanya dalam kompetesi pengejaran serba materi dan sistem berpikirnya atau cara menilai sesuatu juga berbasis materi. Karena itu, untuk menentukan kebenaran dan kepastian juga berbasis pada apa yang bisa: dilihat, diukur, dihitung diraba, dirasa, yang semua hanya terkait pada aspek kuantifikasi semata.

Manusia postmo cenderung egois, serakah, teralienasi, kurang berempati dan masa bodoh pada sesama manusia, cepat frustasi dan putus asa, cepat galau dan daya tahan mental yang cepat rapuh dalam menghadapi kerasnya kompetesi kehidupan.

Manusia postmo saat ini, dalam memahami, menilai, memaknai tentang kebenaran, cenderung semakin tereduksi dan semakin menyempit, karena terlalu mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Padahal, kata Philosup methafisis-eksistensialis Jerman, Martin Heidegger, " bahwa untuk memaknai dan mengungkap hakekat kebenaran tidak dapat dan tidak mungkin hanya dimonopoli oleh ilmu pengetahuan dan teknologi ".

Kata Martin Heidegger, dalam peristiwa hidup, kadang kebenaran itu mengungkapkan dirinya sendiri melalui proses yang disebut aletheia, yaitu pengungkapan obyek yang kita renungkan dengan cara mengungkapkan dirinya sendiri.

Jadi hidup tanpa urusan methafisis adalah sesuatu yang justru irasional, berbahaya dan kemudian tenggelam dalam lautan serba materi. Hidup yang kering , gersang dan miskin spritual.

Jadi dalam konteks inilah yang disebut hidayah, sentuhan Tuhan pada wilayah pribadi subyektifitas manusia, adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam pengalaman spritual hidupnya.

Bahkan, Philosuf Denmark ; Sore Abye Kierkegard, mengatakan ; perjalanan hidup manusia yang benar justru mengikuti garis linear yang melewati tiga tahapan. Tahapan awalnya adalah jenis manusia estetis, yang memuji harta, kedudukan, kekuasaan, pemuasan libido, wanita, uang dan yang sejenisnya untuk menikmati dan memuaskan libido kehidupan.

Tapi semakin tua karena umur bertambah termasuk umur spritual, maka manusia akan berubah menjadi menusia etis, dengan ciri, dimana libido, kekuasaan, kedudukan strategis, ambisi buta dan nafsu mulai disesuaikan dengan kebaikan diri dan kebaikan lingkungan dan masyarakat dimana dia berada.

Dan dia selalu ingin berbuat dan berbagi kebaikan dan ingin membantu kesulitan demi kebaikan untuk saudara, tetangga masyarakat, bangsa, negara bahkan kalau bisa dan mampu bahkan untuk dunia.

Dia manusia etis yang empatik, berkonstribusi maksimal untuk kebajikan untuk lingkungannya, care dan peduli atas derita orang lain. Terakhir, kata Soren Abye Kierkegard, manusia dalam perjalanan eksistensialisnya menjadi manusia relegius di ujung usianya.

Manusia relegius semua dan totalitas hidupnya diupayakannya untuk semata mata bersesuaian dengan arahan, petunjuk Tuhan sang pemilik dan pencipta kehidupan dan pemelihara dan penguasa alam jagad semesta ini.

Hidup religius adalah hidup yang sebesar besarnya bermanfaat untuk kehidupan individual, keluarga, sosial yang diberkati dan dianjurkan Tuhan. Hidup yang memproduksi karya dan aktivitas yang dia sendiri memposisikan diri menjadi agen atau Khalifah Tuhan di planet bumi untuk menebar ; rakhmat, kebaikan, kerukunan, kasih sayang, welas asih, harmonis dalam cinta dan kebaikan, hidup yang berimpit dengan ridha Tuhan.

Model epistemologi saat ini yang terbatas dan mereduksi perolehan kebenaran yang didapat manusia, sebagai epistemologi yang diragukan oleh Philosuf Martin Heidegger. Sementara model perjalanan eksistensial manusia postmo saat ini yang hanya berputar-putar disekitar manusia estetis saja.

Karena dunia aktual manusia memang didominasi oleh kehidupan konsumerisme semata, sehingga menjadi manusia satu dimensi ; yaitu meningkatkan produktivitas demi semata untuk memperoleh uang untuk membiayai konsumsi dan sebaliknya membiayai konsumsi untuk agar dapat produktif dalam hidup. Berkonsumsi untuk bisa melakukan produktivitas dan sebaliknya tindakan produktif agar memperoleh uang untuk membiayai konsumsi.

Padahal kata Soren Abye Kierkegard, semestinya manusia yang benar dan baik itu adalah berakhir menjadi menusia relegius. Bukan berhenti dalam penjara masyarakat industrial yang hedonistik, hanya untuk memuaskan dahaga materi dan berkonsumsi untuk terlaksananya kegiatan produksi dan berproduksi demi memperoleh uang untuk membiayai konsumsi lalu terwujudlah manusia pragmatis yang egois dan serakah tapi cepat putus asa.

Derita manusia modern atau post modernisme, atau manusia one demensional, adalah derita manusia yang terperangkap dalam keterpurukan nilai nilai kemanusiaan yang indah dan hanya memposisikan manusia menjadi manusia gagap dan buta akan makna dan nilai nilai hidup yang dalam, intensif dan indah serta hanya menjadi pemuja kekuasaan, pemuja libido syahwat, pemuja akumulasi penguasaan materi dan kekuasaan demi memenuhi libido untuk mengejar kenikmatan disini, saat ini, sekarang juga.

Agar kita bisa menghayati dan menjalani kehidupan yang baik dan benar, maka kehidupan sebagai perjalanan eksistensial yang benar, semestinya mencapai puncak sasarannya, kalau kita berakhir menjadi manusia relegius, seperti yang disarankan oleh Philosuf eksistensialis Denmark, Soren Abye Kirkegard.

Maka untuk mencapai kesempurnaan eksistensialis model Soren Abye Kierkegard maka kita tidak mungkin mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengungkap kebenaran. Sebab diluar ilmu pengetahuan dan teknologi itu, begitu luas hamparan realitas dan hakekat kebenaran, kata Philosuf eksistensialis Jerman, Martin Heidegger.

Semoga kita terhindar dari krisis dan jebakan kehidupan manusia modern yang hanya sebagai manusia Estetis dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu satunya pengungkapan kebenaran.(*)


TeropongKita adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongKita menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PRAY SUMATRA
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement