Opini
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) pada hari Kamis, 07 Sep 2017 - 09:52:24 WIB
Bagikan Berita ini :

Genosida Rohingya : Tidak Seharusnya Kapolri Ikut Berpolitik

30IMG_20170201_194417.jpg
Asyari Usman (Wartawan Senior) (Sumber foto : Istimewa )

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, ada pihak-pihak tertentu yang menggoreng isu genosida Rohingya untuk menyerang pemerintah. Untuk menyudutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jenderal Tito mengatakan, dua hari lalu, kesimpulan ini diperoleh dari hasil penelitian opini pengguna Twitter.

Susah kalau begini. Rancu jadinya. Sebab, mengeluarkan pernyataan seperti ini seharusnya tidak masuk dalam lingkup tugas Polisi, termasuk Kapolri.

Dengan masuk ke isu Rohingya dan melontarkan pernyataan bahwa ada kelompok tertentu yang memanfaatkan isu ini untuk menjelekkan pemerintah, untuk menyerang Presiden Jokowi, justru Anda sendiri, Pak Tito, ikut menggoreng tragedi Rohingya itu. Sebagai aparat kepolisian, Anda seharusnya tidak keluar dengan pernyataan yang sifatnya sangat “politis”.

Ketika Anda mengucapkan “bertujuan untuk menyerang pemerintahan Jokowi”, pernyataan seperti ini bermakna bahwa Anda sedang ikut berpolitik. Tidak semestinya diucapkan oleh Kapolri. Kalau Anda jurubicara Presiden, atau anggota DPR pendukung Jokowi, atau pengamat politik pro-Jokowi, tidak masalah.

Tetapi, Kapolri bukan politisi. Anda bertugas untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di masyaraat. Menegakkan hukum dan memberikan perlindungan kepada rakyat. Polisi memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Tidak masalah kalau Anda harus loyal kepada atasan Anda. Memang begitulah seharusnya. Tetapi, mengingat lingkup tugas Anda dan Polri yang seharusnya “bebas politik”, maka ketika Anda tampil dengan stetmen yang terkait dengan “posisi politik” Presiden Jokowi, terasalah kejanggalan itu.

Tampaklah bahwa Anda menjadi “pendukung politik” Pak Jokowi. Padahal, loyalitas kepada Presiden itu adalah loyalitas dalam penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian. Artinya, Polisi adalah alat negara, alat untuk semua orang.

Anda menjaga keselamatan dan keamanan Presiden, iya. Anda harus memuluskan tugas Presiden dalam kaitan dengan pelaksanaan wewenang kepresidenan beliau, iya. Anda harus menyediakan semua keperluan Presiden untuk pengamanan kebijakan beliau, iya. Anda juga menyediakan keperluan yang sama untuk para pembantu (para menteri) Presiden, iya.

Tetapi tidak untuk “keperluan politik” Presiden. Kalau ada orang, ormas, orpol, dll, yang menyerang posisi politik Presiden, maka sebagai Kapolri, Anda pasti sudah tahu bahwa Anda tidak layak menyediakan “pengamanan politik” untuk beliau. Anda tidak diperkenankan oleh publik, dan oleh buku manual tugas Kapolri dan kepolisian, untuk mengambil sikap partisan.

Tidak perlu rasanya mengatakan bahwa Polri bukan lembaga politik.

Tetapi, memang semua orang bisa melakukan kekeliruan. Bisa jadi Pak Tito merasa bahwa, sebagai Kapolri, beliau sangat dekat dengan Presiden. Dekat secara pribadi. Bisa saja demikian. Sehingga, ketika “posisi politik” Pak Jokowi diusik oleh siap pun, secara spontan Pak Tito bangkit dan keluar dengan pernyataan yang berkonten politik seratus persen.

Kalaulah “pernyataan politis” terkait pembantaian Rohingya itu diakui sebagai kekeliruan, tentulah kita maklumi dan kita harap tidak akan terulang. Tetapi, kalau di hari-hari selanjutnya nanti Pak Tito berpolitik praktis untuk mengamankan posisi politik Presiden Jokowi, baik terkait isu Rohingya atau isu-isu lain, maka perlulan kita menyatakan keprihatinan.

Anda, Pak Tito, berbeda dengan menteri-menteri yang berkomentar politik dalam nada yang memihak Presiden. Sebab, mereka itu kebanyakan berasal dari orpol-orpol pendukung Presiden Jokowi. Mereka bukan pejabat yang “melekat” di kementerian. Mereka tidak satu “spesies” dengan para pegawai kementerian. Sedangkan Anda, Pak Tito, satu korp dengan semua personel kepolisian. Dididik dan dilatih dengan panduan yang sama. Dengan doktrin yang sama.

Kalau Kapolri berpolitik praktis terkait posisi politik seorang presiden, bisa jadi akan banyak bawahan senior di kepolisian yang merasa bahwa mereka pun harus seperti Kapolri. Bahwa mereka merasa harus juga mengamankan posisi politik Presiden. Bukankah gejala ini berbahaya?

Kita prihatin bahwa kekeruhan dalam berpikir dan beritindak yang selama ini ditudingkan kepada masyarakat, khususnya komunitas medsos, ternyata juga melanda orang-orang yang kita asumsikan sebagai putra-putri terbaik Indonesia. Yang kita asumsikan sebagai orang-orang yang memiliki pemahaman yang sempurna dan paripurna.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...