Opini
Oleh Sayuti Asyathri pada hari Senin, 24 Sep 2018 - 19:09:40 WIB
Bagikan Berita ini :

Catatan Reflektif Pertemuan 300 Jenderal dan Intelektual dengan Prabowo Subianto

72Sayuti-Asyathri-356x220.jpg.jpg
Sayuti Asyathri (Sumber foto : Istimewa)

Acara Sabtu di Jakarta ( 22 Sept 2019) sangat mengharukan, setidaknya saya melihat sendiri beberapa tokoh yang hadir matanya berkaca kaca karena terharu dengan suasana kebangkitan untuk Indonesia berjaya kembali, terutama karena ketulusan dan tekad kebangkitan oleh Pak Prabowo dan penyajian ekonomi kerakyatan oleh Prof Sri Edy Swasono yang mendekonstruksi paradigma pembangunan kita agar berpihak pada rakyat sebagai penopang dan pemilik sejati republik dan kedaulatannya.

Beberapa Jenderal yang sangat berperan sebagai senior kemarin adalah teman saya seangkatan di Lemhanas, termasuk Pak Jenderal Agustadi Sasongko, mantan KSAD.

Kehadiran Pak Widjoyo Soejono (92 tahun) sangat berarti, membuat forum hening ketika mendengarkan closing statement beliau yang diungkapkan dengan bahasa jernih, kaya dengan referensi tentang keadaban dan pedoman memecahkan masalah kebangsaan.

Saya masih ingat ketika mahasiswa, keadaan genting waktu itu, saya diminta ketemu beliau untuk mendengarkan pesan dari beliau tentang visi Istana sekaligus juga saya mengklarifikasi arah gerakan mahasiswa waktu itu, gerakan 77/78. Saya ditemani oleh Mbak Ita, Dr Rosita S Noer sebagai senior alumni FK UI yang semobil dengan saya waktu perjalanan untuk ketemu beliau.

Pidato singkat Pak Widjoyo Soejono kemarin dalam pertemuan para Jenderal sepuh dan intelektual dengan Pak Prabowo, memperlihatkan betapa terdapat suatu alur konsistensi idealisme dan visi kebangsaan yang semakin bening dari para Purnawirawan Jenderal dan Prajurit yang menginginkan Indonesia perlu diselamatkan agar berjaya dalam cita cita proklamasi dan Pembukaan UUD 45.

Dengan kualifikasi pemikiran dan idealisme seperti itu maka wajar kalau pidato singkat Jenderal Widjoyo Soejono memperoleh standing ovation yang mengharukan dari para hadirin dalam acara tersebut.

Dulu tidak sedikit Jenderal yang miliki hati nurani sehingga mereka berusaha menolak penerapan sistem kekuasaan yang berada di bawah kendali hegemoni asing. Hanya saja mereka tidak mampu menghadapi tekanan itu. Antara lain karena tekanan itu berskala global dan bersandar pada teorema pembangunan yang dikuasai oleh tafsir para teknokrat numerikal. Para teknokrat lulusan Barat yang kemudian sering disebut sebagai mafia Berkeley. Para ahli dan perancang pembangunan Orde Baru itu bersandar pada teori dan konsep pembangunan yang sangat teknokratik sehingga mengabaikan dinamika sosial dan politik yang berada pada domain pertarungan ideologis dalam memaknai values hikmat kebijaksanaan sebagai amanat leading values dalam Pancasila. Nilai nilai dasar yang menjadi dasar gerak ideologi Pancasila dan kebangkitan partisipasi rakyat secara adil mereka abaikan dan hanya tempatkan sebagai asesori dalam sistem persuasi dan permanian simbol untuk meraih dukungan rakyat.

Dalam pandangan teknokratis, kebenaran selesai pada diri mereka dengan tafsir numerikal tersebut. Padahal tataran kebenaran yang mereka klaim itu baru berada pada level paradigma yang tidak miliki akar akuntabilitas dalam sistem ideologi yang memenangkan rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kekosongan alas ideologi itulah yang sejak semula telah diisi oleh nilai nilai liberal atas nama modernisme yang menghantarkan pembangunan menghasilkan kesenjangan, ketidakadilan yang akut, terpinggirkannya rakyat, hilangnya asset negara yang bersifat strategis, negara lunglai dalam kedaulatan bersamaan dengan keroposnya fundamental ekonomi yang kesemuanya itu telah menghantarkan pada rubuhnya Orde Baru.

Padahal modernisme sendiri sudah menjalani proses dialektika dekonsruksi menjadi post modernisme dan post strukturalisme dan seterusnya hingga melahirkan model model baru yang dekonstruktif dan bahkan bernuansa chaotic. Termasuk pengaruhnya dalam berbagai model demokrasi.

Sekarang, para Jenderal itu, setelah kaya dengan refleksi di usia kesimpulan hidup mereka kini berinteraksi dengan kalangan cendekiawan. Mereka mulai sering mendengarkan dan saling berbagi pengalaman dan kearifan serta dukungan tulus mereka untuk Indonesia yang adil dan bermartabat.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #prabowo-subianto  #prabowosandiaga  #pilpres-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...