Opini
Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate) pada hari Rabu, 24 Apr 2019 - 10:43:10 WIB
Bagikan Berita ini :

Menang Pilpres Menurut Pasal 6A UUD 1945

tscom_news_photo_1556077390.jpg
Dr. Margarito Kamis (Sumber foto : Ist)

Pencoblosan suara untuk pemilihan presiden dan angota DPR untuk pada semua jenjang wilayah administratif telah dilangsungkan tanggal 17 April yang lalu. Aman, tetapi tak cukup lancar. Seperti tahap-tahap sebelumnya yang disana sini ditemukan serangkaian masalah, pada tahap ini juga sama, ditemukan juga serangkaian masalah.

Bagi sebagian orang, masalah-masalah yang terjadi pada tahap ini, tahap pencoblosan dan penghitungan suara di TPS, tidak cukup beralasan untuk disesalkan. Ini masalah biasa saja. Sifatnya sama dengan masalah-masalah pada peristiwa lainnya. Sebagian lagi memandangnya sebagai masalah berat sehingga harus dipersoalkan.

Pesan Keadilan

Bila ada hal yang begitu sulit didunia untuk dipenuhi dan ditunaikan oleh setiap orang, hal itu adalah keadilan. Ini hal yang cukup berat. Semakin berat lagi dalam kehidupan bernegara. Ini hal tersulit untuk dipenuhi bagi penguasa, dimanapun. Berbeda dengan penguasa, masyarakat selalu lebih mudah diminta untuk berlaku adil.

Hal sesulit itu, menariknya, menjadi fundasi pembentukan setiap negara di dunia. Itu disebabkan keadilan memungkinkan semua orang dalam negara itu menemukan eksistensi kemuliaannya sebagai manusia. Keadilanlah yang menjadi pembatas ego etnosentrik, dan lainnya dan meleburkan semua sentimen itu, mengubahnya menjadi satu rasa kebangsaan negara itu.

Keadilan, bukan senjata, yang menjadi fundasi terbentuknya sebuah bangsa, sebelum akhirnya berubah menjadi fundasi lahir dan terbentuknya sebuah negara. Keadilan itu pulalah yang menjadi fundasi terbentuknya ikatan kebangsaan sebagai warga bangsa, dan betnuk wilayah negasra ia menajdi fundasi lahirnya kesatuan administratif, politik, negara itu.

Konsep keadilan inilah yang dikenali dan dirumuskan oleh para perumus pasal 6A Undangan-Undang Dasar Negara Republik Indonesia – selanjutnya disebut UUD 1945. Dilihat dari strukturnya pasal ini merupakan tambahan, atau pasal baru dalam lingkungan pasal 6 UUD 1945 yang bicara mengenai menjadi presiden. Pasal baru ini, 6A berisi 5 ayat. Esensi struktural pasal ini adalah pengisian jabatan presiden atau apa yang disebut pemilihan presiden langsung.

Pasal ini berisi 5 (lima) ayat. Semuanya penting. Tetapi berdasarkan pertimbangan keadilan, saya ingin mengambil dua ayatnya yaitu ayat 3 dan ayat 4. Ayat 3 pasal ini beriisi ketentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Ayat (4) berisi ketentuan: Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan waklil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara pertama dan kedua dalam pemilihan umum oleh rakyat secara langsung, dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tentu pasangan calon presiden yang tidak memperoleh suara terbanyak, 50% plus 1, yang 20% suara itu tidak tersebar di lebih dari setengah provinsi di Indoensia, tidak bisa dinyatakan sebagai pemenang dan tidak bisa dilantik jadi presiden.

Mengapa begitu? Itu disebabkan para perumus pasal ini mempertimbangkan gap jumlah penduduk Jawa dan luar Jawa. Pikiran atau hasrat ini diungkapkan secara terbuka oleh sejumlah orang dari fraksi Golkar, Fraksi PDI-P dan PPP dalam PAH I BP MPR. Tegas mereka bicara mengenai jumlah penduduk Jawa dan luar jawa, untuk tak mengatakan Indonesia Timur.

Perspektif keadilan, dalam kerangka sifat negara kesatuan itu diperlihatkan oleh salah satu anggota PAH I BP MPR dari fraksi PDI-P dengan mengambil kasus yang dialami oleh Pak Habibie sebagai contohnya. Anggota fraksi ini menegaskan dalam kata-katanya: Kita ingat saja misalnya jaman Pak Habibie itu sampai ada ini hanya sekadar catatan, pokoknya kalau tidak orang kami tidak mungkin, saya tidak mengconter pak Warno, kita menyadari sekarang memang sangat kita mengalami “erosi kebangsaan.”

Ditambahkannya ada namanya kepentingan kelompok lebih menonjol. Ini harus ditampung, diakomodir, supaya masalah-masalah yang berkaitan dengan luas itu bisa dicapai. Kalau langsung pemilu mendapat 50% plus 1 tidak masalah. Pimpinan sidang PAH I pada tanggal 12 September 2001 menegaskan: Terima kasih Pak Ruly. Sebelum berlanjut baranglai kita fikirkan juga kondisi geografis negara kita. Penduduk kita kita merata. Pulau Jawa lebih banyak daripada daerah lain sekityar 60% penduduk Indonesia ada di pulau Jawa. Jadi kalau tidak kita pikirkan satu pemilihan yang “memiliki rasa kedilan” (tanda petik dari saya) saya khawatir nanti presiden orang luar jawa tidak akan pernah terjadi.

Bukan Sekadar Angka

Memang harus diakui perdebatan pada level ini berkisar pada masalah apakah putaran kedua dilakukan oleh MPR atau dikembalikan ke rakyat untuk dipilih secara langsung. Betul pertimbangan geografis tidak dihubungkan dengan keadilan semata, karena terdapat pikiran yang mengaitkan soal geografis itu dengan biaya pilpres putaran kedua. Tetapi masalahnya bukan disitu. Masalahnya terletak pada bila tidak mencapai 50% plus satu dengan sedikitnya 20% suara tersebar di lebih dari setengah provinsi tidak bisa dinyatakn sebgai capres terpilih dan dilantik jadi presiden.

Menariknya MK pada tahun 2014 menafsir pasal 159 UU Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pilpres yang isi sama dengan pasal 6A itu, dan dalam putusannya Nomor 50/PUU-XII/2014 menyatakan pasal 159 itu sah secara bersyarat, yakni dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon maka pasangan calon yang memperioleh suara terbanyak langsung sah dinyatakan terpilih dan dilantik jadi presiden.

Ini jadi soal. Apa soalnya? Pertama, tidak ditemukan argumen anggota PAH I BP MPR yang tidak mengaitkan atau melepaskan syarat 50% plus 1 dengan perolehan suara capres baik putaran pertama. Yang dilepaskan adalah pada putaran kedua. Pada putaran ini semua anggota PAH BP MPR tidak lagi mengaitkan dengan syarat 50% plus satu, termasuk tidak lagi mengaitkan, menyandarkan sebagai syarat perolehan suara di lebih dari setengah provinsi di Indonesia.

Kedua, pertimbangan biaya pada putaran kedua gugur dengan sendirinya, karena MPR bersepakat putaran kedua dilakukan secara langsung oleh rakyat. Padahal dalam perdebatan mereka sebelumnya, putaran ini dikehendaki dilakukan oleh MPR, karena bila dilakukan lagi secara langsung akan menelan biaya. Argumen ini gugur. Konsekuensinya, MK tidak bisa menggugurkan norma pada putaran kedua dengan menggunakan besarnya biaya sebagaui argumennya.

Ketiga, putusan MK tidak dapat ditujukan atau mengikat pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Mengapa? Pilptrs kali ini tidak menggunakan UU Nomor 42 Tahun 2008. Yang digunakan adalah UU Nomor 7 Tahun 2017. Praktis, dalam istilah teknis hukum acara di MK, pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu tidak pernah menjadi objektum litis – obyek gugatan, obyek permohonan di MK.

Disebabkan pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu tidak pernah disidangkan dan diputuskan oleh MK, maka suka atau tidak, senang atau tidak, pasal ini berlaku positif, mengikat semua pihak dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Konsekuensinya adalah penentuan pemenang dalam pilpres kali tunduk pasda pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017, bukan pada putusan MK itu.

Putusan ini kehilangan sifat positifnya substansialnya sebagai hukum, karena; pertama, putusan MK itu adanya mendahului UU Nomor 7 Tahun 2017. Kedua, karena 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu tidak pernah dibatalkan, maka secara hukum eksistensinya sah. Karena eksistensinya sah secara hukum, maka pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu berlaku dan mengikat siapapun, tanpa kecuali.

Keberlakuan pasal ini, sekali lagi, harus diletakan dalam kerangka sebab lahirnya pasal 6A UUD 1945. Sebab lahirnya pasal ini, sebagaimana telah disinggung di atas adalah menjaga, memelihara rasa kebangsaan Indonesia. Praktis pasal ini merupakan cara MPR merawat semangat kebangsaan, semangat NKRI, dan semangat kebhinekaan. Semangat itu tidak lain adalah semangat keadilan, bukan semangat angka curang.

Konsekuensinya, suka atau tidak suka, pemenang pilres harus dikerangkan rumusan konstitusi, yakni 50% plus 1, dengan minimum 20% suara itu tersebar di lebih dari setengah provinsi di Indonesia. Itulah keadilan politik kebangsaan kita. Itu cara merawat NKRI. Bila tidak formula ini, maka pilihan konstitusional yang bersifat imperative adalkah pemilu ulang. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pilpres-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Luhut Ancam Pengkritik, Yaman Rudal Israel

Oleh Faizal Assegaf
pada hari Sabtu, 16 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Judul di atas menegaskan perbedaan kelas. Pasukan Yaman bukan sebatas mengancam, tapi mereka sudah mengusir dan menembak kapal milik Amerika, Inggris dan Israel. Tapi ...
Opini

Rektor Mengelak Alumni ITB Bergerak

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dua kelompok Alumni mempertanyakan keterlibatan ITB dalam Sirekap KPU yang ternyata menimbulkan masalah. Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) Pemilu merupakan platform ...