Opini
Oleh Yorrys Raweyai, Kader Senior Partai Golkar pada hari Kamis, 18 Jul 2019 - 09:48:54 WIB
Bagikan Berita ini :

Politik Main Kayu ala Airlangga

tscom_news_photo_1563418134.jpeg
(Sumber foto : Istimewa)

Pertemuan Bambang Soesatyo, Ketua DPR, yang juga merupakan kandidat kuat dalam perebutan pucuk pimpinan DPP Partai Golkar dengan Presiden Joko Widodo menyisakan perbincangan hangat. Hal itu tidak lepas dari hiruk-pikuk internal partai Golkar jelang gelaran Musyawarah Nasional (Munas) 2019. Manuver dukung-mendukung terhadap 2 (dua) kandidat, Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto, dipandang tidak cukup mampu menjelaskan tentang siapa sesungguhnya calon paling kuat yang akan memegang tampuk kekuasaan partai beringin 5 (lima) tahun ke depan.

Restu Jokowi

Perhelatan Munas Partai Golkar kali ini memang bukan sekedar kontestasi biasa. Sebagai partai besar, Golkar tentu saja memiliki andil tersendiri dalam percaturan politik nasional. Tidak hanya itu, dukungan Partai Golkar terhadap calon petahanan Joko Widodo dalam Pilpres 2019 sedikit banyaknya memberi credit point baginya untuk menentukan masa depan pemerintahan Indonesia Kerja Jilid II.

Presiden Joko Widodo tentu berharap banyak pada partai-partai koalisi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK). Stabilitas pemerintahan yang tercermin dari minimnya gesekan-gesekan dan intrik-intrik politik adalah prasyarat penting dalam mewujudkan stabilitas tersebut. Slogan kerja yang identik dengan cara Joko Widodo dalam menjalankan kekuasaannya mengandaikan dukungan maksimal dari segenap partai koalisi, termasuk Partai Golkar.

Setelah sebelumnya, Airlangga Hartarto beserta para ketua DPD I Partai Golkar mengunjungi Istana Negara dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo, kali ini kunjungan Bambang Soesatyo secara personal selama kurang lebih satu setengah jam juga disinyalir sebagai bentuk restu. Sulit menafikan isyarat dukungan tersebut, apalagi kedua rangkaian pertemuan menitipkan catatan penting untuk menjaga solidaritas dan soliditas partai dan menghindari kegaduhan yang bersifat kontraproduktif.

Lalu kemana restu Jokowi dilabuhkan? Berebut restu inilah yang tidak dimaknai sama oleh 2 (dua) kandidat kuat itu. Dengan segala perangkat struktural kepartaian yang dimilikinya, Airlangga Hartarto jutsru terkesan memaknai kontestasi ini dengan cara “main kayu”. Di saat ia mengakumulasi sejumlah dukungan dari para pemilik suara sah (ketua-ketua DPD I dan II), pada saat yang sama, ia memberangus sejumlah pemilik suara sah yang hingga saat ini masih merahasiakan dukungan, ataupun mereka yang terang-terangan mendukung lawan kontestannya.

Puluhan ketua DPD, baik di tingkat I maupun II dipecat dengan alasan dan argumentasi yang tidak logis dan mengada-ada. Atas nama konsolidasi dan penguatan kepartaian, mereka dipinggirkan sejak awal dari arena kontestasi Munas yang akan datang. Para pimpinan DPD I yang saat ini masih berstatus sebagai pelaksana tugas (Plt), juga belum menuai legitimasi dengan harapan agar mereka tetap berada dalam barisan yang sama.

Sementara di sisi lain, Bambang Soesatyo justru sibuk menepis berbagai anggapan dan tuduhan yang tidak beralasan dari elit yang berdiri di sekitar Airlangga. Mulai dari isu remeh “ijazah palsu”. Untung saja Menristek Dikti cepat tanggap dengan mengklarifikasi ijazah S2 Bamsoet sah dan legal. Sungguh pratik Politik yang tidak santun, hingga penggiringan secara paksa dukungan terhadap dirinya. Selain itu, Bamsoet justru disibukkan dengan kerja-kerja parlemen yang sebentar lagi menyelesaikan sisa masa kerjanya. Meski dalam kondisi terengah-engah mewariskan kinerja DPR masa sebelumnya, ia justru tidak tampak berlebihan meluapkan syahwat politiknya untuk merengkuh kursi Golkar I.

Dalam berbagai kesempatan, Bamsoet turut terlibat menenangkan para ketua DPD yang menjadi objek manuver pemecatan dan ancaman. Bamsoet mempersilakan kepada para pimpinan DPD tersebut untuk mengikuti konstalasi internal yang sedang berlangsung, tidak memaksakan kehendak untuk menyuarakan dukungan jika pada gilirannya menuai sanksi pemecatan. Tentu saja, sambil berjanji untuk mengembalikan posisi dan jabatan mereka tatkala ia menduduki jabatan sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Berkaca pada Kinerja

Presiden Joko Widodo tentu tidak menutup mata terhadap hasil perolehan suara Partai Golkar dalam Pemilu 2019 lalu. Penurunan suara signifikan di saat partai-partai koalisi justru meraih penambahan kursi di parlemen, menjadi catatan tersendiri, betapa kinerja partai ini perlu dievaluasi. Ironisnya, sejumlah petinggi Partai Golkar yang berdiri di barisan Airlangga justru menganggap perolehan tersebut merupakan sebuah kesuksesan.

Jika dirunut jauh ke belakang, tepatnya Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) 2016 lalu, sebagai figur yang mengajukan diri dalam kontestasi perebutan kekuasaan Partai Golkar, Airlangga hanya memperoleh 14 suara, terpaut ratusan suara dengan calon lainnya, semisal Setya Novanto maupun Ade Komaruddin. Bahkan ia menempati urutan kelima dari 8 (delapan) kandidat. Dengan jumlah suara tersebut, terasa sulit untuk mengatakan bahwa dukungan terhadap Airlangga saat ini didasari atas kekuatan figur yang dimilikinya, apalagi atas dasar kesuksesan kinerja.

Boleh jadi, nihilnya prestasi yang ditunjukkan Airlangga selama kurang lebih 1,5 tahun kepemimpinannya, dirasa sulit untuk dijadikan instrumen kemenangan. Tidak ada jalan lain, kecuali mempraktikan lakon politik bumi hangus yang secara sadar dilakukan demi kepentingan kekuasaan. Dampak yang ditimbulkan oleh lakon tersebut tidaklah sedikit. Airlangga telah mencontohkan cara-cara berpolitik “kotor”, menghalalkan segala cara untuk meraih tampuk kekuasaan. Slogan Golkar Bersih, demokratis, transaparan dan terbuka sama sekali jauh dari kenyataan.

Keinginan untuk kembali menduduki jabatan sebagai ketua umum pun telah menyalahi tradisi yang sesungguhnya dibangun secara konvensional. Sebab jabatan dua periode justru hanya mematikan regenarasi dan kaderisasi di tingkat internal partai. Mereka yang menjabat di masa berikutnya hanya akan membawa gerbong kepengurusan yang dihuni oleh orang yang “itu-itu” saja. Sementara tantangan politik kontestasi di masa depan begitu kompleks hanya dihadapi oleh orang yang sama yang justru saat ini gagal meraup target, apalagi disebut sukses.

Terlepas dari suasana internal tersebut, Presiden Joko Widodo tentu menginginkan kesamaan visi dan misi demi membangun pemerintahan yang mumpuni dan menjamin periode kepemimpinan kedepannya mendarat dengan elegan. Tentu saja, ia tidak ingin tersandera oleh berbagai persoalan yang akan menyentil dan mengusik kekuasaannya di masa yang akan datang.

Karena itulah, seluruh partai koalisi membaca dengan baik arah dan kehendak Presiden Joko Widodo dengan menyelenggarakan Munas atau Muktamar sebelum pembentukan kabinet. Sementara itu, Airlangga yang memaksakan Munas pada Bulan Desember 2019 justru terkesan membangun arah yang berbeda demi untuk memuaskan kepentingan diri dan kelompoknya.

Kiranya, sudah cukup bagi Airlangga menahkodai kepemimpinan Partai Golkar selama ini. Ia telah memperoleh keistimewaan oleh Presiden Joko Widodo dengan “membiarkan”-nya menjalani rangkap jabatan di dua tipikal kekuasaan yang berbeda, sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan sebagai Menteri Perindustrian. Mungkin pembiaran ini diamini sebagai perhatian Joko Widodo bagi keberlangsung Partai Golkar setelah diperhadapkan oleh momen-momen turbulensi yang akut.

Setelahnya, tentu Presiden Joko Widodo tidak ingin kembali dipertontonkan oleh suasana turbulensi yang sama, meski dengan penyebab yang berbeda. Kebijakan Airlangga yang salah satunya menutup mata atas berbagai peristiwa hukum yang melibatkan pengurus DPP Partai Golkar yang belum juga menuai sanksi pemecatan, bisa menjadi bola liar dan batu sandungan bagi pemerintahan Joko Widodo di masa yang akan datang. Sebaliknya, politik “main kayu” yang diterapkan bagi para kader justru berpotensi kembali melahirkan “kegaduhan” yang tak berujung bagi Partai Golkar, seperti yang tampak dalam kepemimpinan otoriter periode sebelumnya.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...