Oleh Kuldip Singh – Aktivis 1998, Sekjen PIJAR 1998, Pemerhati Kebijakan Publik pada hari Selasa, 01 Jul 2025 - 20:56:33 WIB
Bagikan Berita ini :

Dari Pangkalan ke Platform: Siapa yang Diuntungkan?

tscom_news_photo_1751378193.jpg
(Sumber foto : )

Ojek bukanlah temuan baru.

Ia lahir dari kebutuhan rakyat terhadap mobilitas murah, cepat, dan adaptif di tengah macetnya kota dan minimnya layanan publik. Ia tumbuh bukan dari insentif pemerintah, tetapi dari gotong-royong rakyat sendiri. Di gang-gang sempit dan pinggir-pinggir jalan, pangkalan ojek adalah simbol ekonomi rakyat yang bertahan hidup dengan cara mereka sendiri.

Namun entah bagaimana ceritanya, dalam sepuluh tahun terakhir, para aplikator datang—menggunakan jargon revolusi digital, efisiensi teknologi, dan ekonomi berbagi—untuk mengkapitalisasi realitas sosial yang telah lama ada. Yang dulunya informal, kini diberi pakaian algoritma dan dashboard. Yang dulunya otonom, kini dikendalikan sistem rating dan insentif sepihak. Yang dulunya milik rakyat, kini menjadi mesin akumulasi profit segelintir korporasi.

Pertanyaannya sederhana:
Apakah ini benar-benar inovasi? Atau sekadar ekspansi komersial yang disulap jadi cerita sukses teknologi?


Negara Lamban, Swasta Sigap

Sebenarnya negara memiliki segala sumber daya: data, jaringan, infrastruktur, bahkan sistem hukum yang cukup untuk membaca arah perubahan zaman. Namun dalam konteks transportasi online, negara justru kalah cepat dari swasta dalam mengenali dan mengeksekusi potensi ekonomi yang sudah lama hadir di depan mata.

Pangkalan ojek, jasa antar lokal, hingga kurir dadakan—semuanya sudah tumbuh sejak lama sebagai respons rakyat terhadap minimnya layanan negara. Tapi alih-alih membangun sistem nasional berbasis koperasi rakyat atau platform publik, negara justru menonton dari kejauhan.

Yang bertindak cepat justru pihak swasta. Mereka hadir dengan kemasan teknologi, memadukan algoritma dan investasi, lalu mendigitalisasi sektor rakyat ini menjadi skema ekonomi platform. Negara hanya bisa bereaksi, alih-alih bertindak strategis. Bahkan ketika jutaan pengemudi sudah masuk ke sistem aplikasi, pemerintah baru mulai berpikir soal regulasi.

Padahal, jika negara hadir lebih awal—menyusun sistem, menciptakan platform bersama berbasis BUMN atau koperasi digital, dan menjadikannya bagian dari sistem transportasi publik nasional—maka keuntungan dari sektor ini bisa langsung dirasakan rakyat dan masuk ke kas negara, bukan lari ke luar negeri bersama dividen dan valuasi para aplikator.

Indonesia Tertinggal dari ASEAN

Di Malaysia, pemerintah menetapkan pembatasan jam kerja pengemudi serta kewajiban asuransi bagi mereka. Di Singapura, pekerja platform sudah dikategorikan secara hukum sebagai “Platform Workers” dengan hak perlindungan sosial yang jelas. Di Thailand, semua aplikator diwajibkan berbagi data real-time dengan pemerintah sebagai bagian dari transparansi dan pengawasan[^4].

Di Indonesia? Para pengemudi dan kurir online menghadapi ketidakpastian status kerja, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Mereka dianggap mitra, tapi diperlakukan layaknya buruh kontrak tanpa upah minimum, tanpa jaminan sosial, dan tanpa perlindungan jam kerja.

Di sisi lain, aplikator bebas menetapkan potongan biaya, tarif, dan sistem promo tanpa transparansi. Pengguna aplikasi mungkin membayar harga normal, bahkan mahal, tapi pengemudi hanya menerima sebagian kecil karena sisanya disedot oleh sistem biaya tersembunyi yang tak dijelaskan secara terbuka.

Tak hanya itu, biaya-biaya lain seperti potongan per transaksi, sewa jaket, cicilan handphone, hingga potongan untuk layanan yang tidak diminta pun kerap muncul tanpa kejelasan dasar hukum. Kondisi ini menunjukkan betapa lemahnya regulasi kita dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya yang lebih dulu mengatur perlindungan terhadap pekerja digital.

Langkah Awal Positif Presiden Prabowo

Langkah awal Presiden Prabowo layak diapresiasi. Dalam pernyataannya di Istana Merdeka, 10 Maret 2025, Presiden mengakui peran penting para pengemudi dan kurir online dalam sistem transportasi dan logistik nasional. Ia menghimbau seluruh aplikator memberi bonus Hari Raya Idulfitri dalam bentuk tunai, berdasarkan keaktifan kerja[^1].

Presiden mencatat ada 250 ribu pekerja aktif dan hingga 1,5 juta paruh waktu di sektor ini[^3]. Sehari kemudian, Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Edaran yang menghimbau pemberian THR tunai bagi pengemudi dan kurir online[^2].

Kebijakan ini menandai hadirnya political will dari Presiden terhadap krisis relasi kerja di sektor gig economy. Namun, langkah awal ini harus ditindaklanjuti oleh para menteri teknis dan DPR melalui regulasi konkret yang berpihak pada keadilan bagi para pekerja aplikasi.

Lima Langkah Mendesak untuk Reformasi

1. Klasifikasi pekerja platform sebagai tenaga kerja digital, yang harus mendapat perlindungan hukum, jaminan sosial, dan akses terhadap jaminan hari tua serta kesehatan.


2. Kewajiban transparansi sistem algoritma, pembagian tarif, dan promo.
Pengemudi berhak mengetahui bagaimana mereka dinilai, dibayar, dan bagaimana promo diterapkan. Dalam praktiknya, promo sering menjadi kamuflase—harga dinaikkan ke pengguna, namun hasil justru dipotong dari pengemudi melalui skema biaya yang tidak jelas.

Dalam RDP Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu menyebut praktik ini sebagai “pungli digital” yang merugikan pengemudi, kurir, dan pengguna, tapi menguntungkan aplikator dan investornya. Ia mendesak agar praktik tersebut dihapuskan dari sistem biaya.


3. Pendataan nasional pekerja gig economy, agar kebijakan berbasis data bisa lahir dan bantuan sosial, asuransi, hingga perlindungan hukum bisa diberikan secara terarah.


4. Pengembangan koperasi digital atau platform alternatif milik publik, agar rakyat tidak terjebak dalam dominasi satu-dua aplikator yang menentukan hidup jutaan orang.


5. Audit menyeluruh terhadap semua aplikator transportasi dan logistik online.
Audit ini penting untuk membongkar seluruh struktur biaya dan memastikan tidak ada potongan tersembunyi yang merugikan pengemudi maupun negara. Audit juga dibutuhkan untuk menilai kepatuhan fiskal aplikator, terutama terkait potensi kebocoran pajak dan kontribusi terhadap penerimaan negara dari sektor ekonomi digital.

Negara Harus Hadir, Bukan Sekadar Menonton

Kita tidak butuh negara yang hanya menjadi komentator aplikasi. Kita butuh negara yang aktif membela rakyat pekerja, hadir sebagai wasit yang adil dalam permainan yang timpang ini. Keadilan sosial tidak lahir dari algoritma, tapi dari keberanian politik untuk berpihak.

Presiden sudah membuka pintu.
Kini tinggal kita memastikan pintu itu benar-benar dilewati oleh kementerian, DPR, dan lembaga-lembaga terkait.

Sebab jika tidak, maka kekuasaan algoritma akan terus menghisap peluh rakyat—dalam sunyi yang tidak terlihat.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Mabes Polri Kabulkan Gelar Perkara Khusus Terkait Dugaan Ijazah Palsu

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
pada hari Selasa, 01 Jul 2025
Bandung, 1 Juli 2025 – Kepolisian Republik Indonesia melalui Bareskrim Mabes Polri menjadwalkan pelaksanaan Gelar Perkara Khusus atas laporan dugaan ijazah palsu yang menyeret nama Presiden ...
Opini

Hari Bhayangkara ke-79: Momentum Refleksi, Bukan Sekadar Seremoni

JAKARTA – Hari Bhayangkara ke-79 yang jatuh pada 1 Juli 2025 menjadi ruang refleksi penting bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di tengah perubahan sosial yang dinamis dan ...