Oleh Tim Teropong Senayan pada hari Sabtu, 05 Jul 2025 - 20:36:56 WIB
Bagikan Berita ini :

Kembali ke UUD 1945: Refleksi atas Dekrit 5 Juli 1959 dalam Konteks Demokrasi Kontemporer

tscom_news_photo_1751722616.jpeg
(Sumber foto : )

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang menandai titik balik perjalanan konstitusional Indonesia: Dekrit Presiden tentang Kembali ke UUD 1945. Dekrit ini, yang menandai berakhirnya sistem parlementer dan dimulainya era Demokrasi Terpimpin, menjadi reaksi atas krisis politik dan ideologis dalam tubuh Konstituante yang gagal menyepakati dasar negara.

Tulisan reflektif dari Dr(C) M. Hatta Taliwang yang disampaikan dalam peringatan Dekrit 5 Juli 1959 di kantor Partai Masyumi, membuka kembali rentetan sejarah krusial yang melatari lahirnya dekrit tersebut. Namun, dalam membacanya kini, penting untuk menempatkan peristiwa historis itu dalam dialektika dengan realitas demokrasi Indonesia masa kini—yang meski lebih mapan secara institusional dan partisipatif, tetap dibelit oleh korupsi sistemik dan pembajakan hukum oleh elite.


---

I. Pelajaran dari Masa Lalu: Ketika Demokrasi Liberal Menuju Jalan Buntu

Tulisan Hatta Taliwang secara kronologis menyajikan 13 peristiwa penting yang melatari Dekrit 5 Juli 1959, dari Peristiwa 17 Oktober 1952, pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, Peristiwa Cikini, hingga deadlock Konstituante. Intinya, negara pasca-revolusi kemerdekaan ini mengalami kegamangan serius dalam menemukan bentuk pemerintahan yang stabil dan representatif.

Ketika puluhan partai berkoalisi secara tambal sulam dalam sistem parlementer, kekuasaan eksekutif menjadi lemah, aparat negara gamang, dan agenda stabilisasi nasional tersandera tarik ulur elite politik. Dalam konteks inilah, Nasution dan militer memosisikan diri sebagai “penyelamat republik”, dan menggulirkan ide “kembali ke UUD 1945”—sebuah dokumen yang dianggap memberi kepemimpinan eksekutif lebih kuat dan sentralistik.

Namun pelajaran pentingnya bukan pada bentuk konstitusi semata, melainkan soal mandeknya representasi politik dalam demokrasi liberal saat itu—yang gagal menjembatani pluralitas ideologi bangsa secara produktif.


---

II. Peran Strategis Jenderal AH Nasution: Antara Ketegasan Militer dan Kalkulasi Politik

Tulisan ini menggarisbawahi betapa pentingnya peran Jenderal AH Nasution, tidak hanya sebagai Kepala Staf AD, tetapi juga sebagai aktor politik yang menjembatani militer, eksekutif, dan elite partai.

Strategi Nasution sangat terukur: memobilisasi dukungan militer (meski sempat mendapat resistensi dari Kodam Siliwangi dan Brawijaya), melakukan komunikasi politik lintas partai (PNI, Masyumi, NU, hingga PKI), hingga mengambil peran dalam perumusan PEPERPU/040/1959 untuk menghentikan sidang-sidang Konstituante yang deadlock. Peran Nasution sebagai figur yang mempertemukan ketegasan keamanan dan pragmatisme politik menjadi kunci dalam keberhasilan dekrit.

Ini menggambarkan satu hal penting: dalam kondisi krisis, militer dan elite sipil bisa bekerja sama untuk menjaga keberlanjutan negara—sebuah pelajaran yang tetap relevan hari ini, di mana relasi sipil-militer perlu terus dijaga dalam koridor konstitusional.


---

III. Demokrasi Hari Ini: Sudah Maju, Tapi Kualitasnya Membutuhkan Penjernihan Moral

Kini, Indonesia tak lagi berada dalam situasi darurat seperti 1959. Demokrasi sudah berjalan hampir tiga dekade pasca-Reformasi. Pemilu langsung telah berlangsung lima kali, partisipasi pemilih meningkat, dan masyarakat terdidik semakin dominan.

Namun ironinya, demokrasi elektoral yang maju ini justru dibarengi degradasi etika politik. Perilaku korupsi menyusup di hampir seluruh elemen kekuasaan, dari DPR hingga birokrasi. Partai politik kehilangan idealisme dan menjadi kendaraan politik oligarki. Penegakan hukum bergantung pada kekuatan finansial dan kedekatan kekuasaan—bukan pada asas keadilan substantif. Dalam suasana demikian, kembali ke semangat “moralitas politik” seperti disinggung Nasution dalam tulisannya menjadi semakin relevan.

> "Untuk memperbaiki aparatur negara, perlu adanya kekuasaan politik yang tegas," tulis Nasution. Namun di zaman sekarang, bukan hanya tegas, tapi juga bersih dan akuntabel.


---

IV. Kembali ke UUD 1945: Bukan Soal Teks, Tapi Konteks

Dekrit 5 Juli 1959 membawa Indonesia kembali ke UUD 1945. Namun patut dicatat bahwa UUD yang dimaksud saat itu bukan versi yang telah diamandemen seperti sekarang. UUD 1945 yang asli menempatkan presiden sebagai pusat kekuasaan nyaris absolut. Sementara saat ini, hasil amandemen UUD justru menyebarkan kekuasaan ke lembaga-lembaga yang lebih plural, termasuk Mahkamah Konstitusi, KPK, dan DPR.

Oleh karena itu, wacana “kembali ke UUD 1945” yang sesekali dimunculkan di masa kini harus dibaca secara kritis. Jangan sampai jargon ini menjadi pintu masuk untuk membajak demokrasi dan mengembalikan dominasi eksekutif tanpa checks and balances.


---

V. Refleksi Akhir: Demokrasi Butuh Ketegasan, Tapi Lebih Butuh Integritas

Apa yang bisa kita pelajari dari narasi Hatta Taliwang tentang Dekrit 5 Juli 1959?

Bahwa negara bisa terselamatkan ketika kekuatan militer, eksekutif, dan elite politik mampu membaca krisis dan bersatu dalam solusi bersama. Namun, era sekarang menuntut sesuatu yang lebih: kualitas demokrasi yang didukung oleh integritas, bukan sekadar stabilitas.

Partai politik harus direformasi dari hulu, termasuk pendanaan dan rekrutmen kader. Penegakan hukum harus netral, independen, dan berani. Masyarakat terdidik harus menjadi kekuatan kontrol sosial yang aktif.

Dalam situasi seperti ini, mengenang Dekrit 5 Juli bukan untuk meromantisasi masa lalu, tapi untuk menagih jiwa kenegarawanan yang langka di zaman sekarang.


Seperti kata Soekarno: "Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak jegal-jegalan." Kini kita harus menambahkan: Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak transaksional, tidak koruptif, dan tidak menjadi alat segelintir elite semata.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Kebangkitan Kejaksaan, Kemunduran KPK, dan Tantangan Reformasi Penegakan Hukum Era Prabowo

Oleh Ariady Achmad
pada hari Sabtu, 05 Jul 2025
Di tengah apatisme publik terhadap penegakan hukum, sebuah fakta mengejutkan hadir melalui Podcast Suara Angka LSI Denny JA edisi awal Juli 2025. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, Kejaksaan ...
Opini

66 Tahun Dekrit Presiden: Sebuah Peta Jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Hari ini, 5 Juli 2025, genap 66 tahun peristiwa bersejarah saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Dekrit yang dikeluarkan melalui ...