Ketika seseorang pertama kali menjejakkan kaki di sebuah negara, hal pertama yang ia rasakan bukanlah keramahan penduduk, kelezatan kuliner lokal, atau kecanggihan teknologi digital. Ia akan merasakan satu hal yang paling mendasar dan sangat menentukan: suasana bandara.
Bandara adalah wajah simbolik sebuah bangsa—ia bukan sekadar tempat datang dan pergi, tetapi titik temu antara karakter peradaban dan persepsi global. Maka, ketika Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta menampilkan wajah semrawut, elitis, dan jauh dari ramah, sejatinya yang tercoreng bukan hanya reputasi otoritas bandara, tetapi wibawa bangsa itu sendiri.
Ketika Ketidakteraturan Menjadi Kesan Pertama
Refleksi yang disampaikan oleh Peter F. Gontha dalam pengalaman pribadinya adalah alarm keras yang seharusnya didengar oleh seluruh pemangku kebijakan, mulai dari Kementerian Perhubungan, Dirjen Imigrasi, Bea Cukai, hingga Direksi Angkasa Pura II. Peter menggambarkan suasana terminal kedatangan internasional sebagai pasar malam tak beraturan.
Penumpang dari berbagai negara kebingungan karena tidak ada petunjuk yang jelas, minimnya petugas yang bisa berbahasa asing, dan kegagalan dalam mengatur arus manusia secara sistematis. Jamaah umrah bercampur dengan pelancong asing, pejabat negara menguasai ruang publik dengan pengawalan berlebihan, dan layanan bea cukai yang ketinggalan zaman menambah keruwetan.
Beginikah wajah negara yang ingin tampil besar di panggung global?
Privilese, Bukan Pelayanan
Kritik yang paling menyentuh adalah tentang bagaimana para pejabat dan kalangan kaya bisa "membajak sistem" seolah ruang publik adalah milik pribadi. Anak pejabat atau pengusaha bisa memotong antrean dengan dikawal aparat. Anggota DPR dijemput di pintu pesawat oleh rombongan yang membuat penumpang lain harus menepi. Bandara, yang seharusnya dikelola dengan prinsip keadilan dan keterbukaan, justru mempertontonkan budaya feodal modern.
Inilah yang oleh banyak pihak disebut sebagai krisis karakter bangsa: ketika kebesaran tidak diiringi oleh ketertiban, dan kekuasaan tidak disertai rasa malu.
Modernisasi Tanpa Jiwa
Di era kecerdasan buatan dan otomatisasi, bea cukai Terminal 3 masih bergantung pada formulir elektronik tanpa sistem navigasi yang baik. Tidak ada papan petunjuk multibahasa. Tidak ada alur yang jelas. Bahkan turis asing kebingungan hanya untuk tahu harus mengisi apa dan ke mana.
Bandingkan dengan Singapura, Jepang, atau bahkan Uni Emirat Arab—negara-negara yang menerima jutaan pengunjung setiap tahunnya. Di sana, sistem pelayanan sudah berbasis kepercayaan dan teknologi pintar. Penumpang yang tidak perlu deklarasi bisa langsung lewat, sementara sistem dengan sendirinya akan mendeteksi anomali. Yang jujur diberi jalan, yang menipu dijerat hukum berat.
Di Jakarta, sebaliknya. Semua diperlakukan seperti tersangka potensial, dan semua diserahkan pada manusia yang sering kali tidak siap.
Menghadirkan Bangsa Unggul Lewat Bandara
Kegagalan Bandara Soekarno-Hatta bukanlah kegagalan fasilitas, tetapi kegagalan sistem dan karakter. Kita tidak sedang berbicara tentang kualitas gedung atau canggihnya pemindai paspor, tapi nilai-nilai peradaban yang seharusnya hidup di dalamnya:
Disiplin sosial harus menjadi budaya, bukan hanya slogan.
Kesetaraan pelayanan harus menjadi norma, bukan pengecualian.
Penggunaan teknologi harus memudahkan, bukan mempersulit.
Kebanggaan nasional tidak boleh dikalahkan oleh gaya hidup feodal yang menjangkiti aparat dan pejabat.
Bandara adalah tempat pertama tamu asing datang dan tempat terakhir mereka pamit. Apa yang mereka lihat dan rasakan akan melekat, menjadi cerita yang dibawa pulang, menjadi reputasi yang tersebar di dunia luar.
Saatnya Bangun dari Tidur Panjang
Kita tidak kekurangan dana. Tidak pula kekurangan fasilitas. Yang kita kekurangan adalah kesadaran bersama bahwa negara besar harus dikelola dengan nilai-nilai besar. Mulai dari menghargai antrean, memperlakukan tamu asing dengan ramah, hingga tidak menyalahgunakan kekuasaan dalam ruang publik.
Jika kita ingin disebut sebagai bangsa beradab, maka bandara kita harus mencerminkan etika, efisiensi, dan kesetaraan. Jangan biarkan orang-orang yang pertama kali datang ke Indonesia langsung menyimpulkan: "Negara ini memang tidak peduli."
Mari perbaiki manajemen, ubah kultur pelayanan, dan jadikan bandara sebagai pintu gerbang peradaban, bukan sekadar tempat transit.
Karena di situlah, bangsa ini pertama kali dinilai—dan terakhir kali diingat.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #