Oleh Ariady Achmad pada hari Sabtu, 05 Jul 2025 - 20:35:09 WIB
Bagikan Berita ini :

Kebangkitan Kejaksaan, Kemunduran KPK, dan Tantangan Reformasi Penegakan Hukum Era Prabowo

tscom_news_photo_1751722509.png
(Sumber foto : )

Di tengah apatisme publik terhadap penegakan hukum, sebuah fakta mengejutkan hadir melalui Podcast Suara Angka LSI Denny JA edisi awal Juli 2025. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, Kejaksaan Agung melampaui KPK dan POLRI dalam hal tingkat kepercayaan publik, berdasarkan survei nasional LSI bulan Juni 2025. Angkanya mencolok: 61% responden menaruh kepercayaan pada Kejaksaan, dibandingkan dengan 60% untuk KPK dan 54,3% untuk POLRI.

Ini bukan hanya kemenangan statistik, tetapi refleksi psikososial bangsa yang merindukan institusi hukum yang tegas, adil, dan independen. Kenaikan kepercayaan ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia lahir dari tindakan nyata: dari penetapan Johnny G. Plate (tokoh elite dari partai penguasa saat itu) dalam kasus BTS Kominfo senilai Rp8 triliun, hingga pengusutan megakorupsi sektor timah yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp271 triliun.

Momentum Kejaksaan: Dari Simbol ke Substansi

Naiknya kredibilitas Kejaksaan bukan semata karena manuver hukum, tapi juga karena narasi keberanian yang langka di lembaga lain. Di tengah redupnya taring KPK pasca revisi UU No. 19/2019, Kejaksaan tampil sebagai protagonis baru. Institusi ini tidak hanya mengambil alih ruang kosong kepercayaan, tetapi memanfaatkannya untuk menggugah kembali harapan publik terhadap keadilan yang substantif.

Dukungan dari Presiden Prabowo Subianto, termasuk penguatan struktural dan sinergi strategis dengan POLRI dan TNI, makin memperkuat posisi kejaksaan. Namun, dukungan ini juga menyimpan catatan: jangan sampai “perlindungan politik” justru menjadi jebakan loyalitas yang membatasi keberanian.

Kita tentu mengapresiasi capaian ini, namun juga tak boleh menutup mata bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari satu-dua kasus spektakuler, melainkan dari konsistensi jangka panjang dan keberhasilan memutus sistem impunitas.

No Viral, No Justice: Kenyataan Baru, Ancaman Lama

Temuan kedua yang diangkat Podcast Suara Angka sungguh menggugah: Indonesia telah masuk ke era “No Viral, No Justice.” Dalam logika ini, hanya kasus-kasus yang viral di media sosial yang mendapatkan perhatian serius dari aparat penegak hukum. Kasus yang sepi sorotan? Berpotensi dibekukan dalam lemari birokrasi.

Paradoksnya, di satu sisi, netizen dan media sosial menjadi kekuatan korektif dan alat tekanan kolektif. Tapi di sisi lain, ini mengungkap rapuhnya prinsip due process of law yang seharusnya tidak bergantung pada popularitas kasus, melainkan berdiri atas asas legalitas dan keadilan substantif.

Jika hukum hanya bertindak karena sorotan viral, maka hukum telah kehilangan ruh-nya sebagai penjaga keadilan universal dan berubah menjadi instrumen reaktif demi menjaga reputasi lembaga atau kekuasaan.

> "Keadilan bukan hak mereka yang viral, tetapi kewajiban negara kepada semua warga negara."
— Adaptasi prinsip keadilan universal

Presiden Prabowo: Komando Kuat, Lini Lemah?

Di titik ini, muncul paradoks ketiga: kharisma Presiden Prabowo yang tinggi tidak diikuti oleh kekuatan lembaga hukum pelaksana mandatnya. Survei LSI mengungkap jurang antara simbol negara (Presiden) dengan instrumen negara (aparat hukum).

Dalam bahasa manajemen strategis, ini ibarat CEO yang visioner tapi tim pelaksananya tak mampu mengoperasionalkan agenda besar yang diusung. Maka, jika penegakan hukum tak dibenahi, Prabowo hanya akan menjadi orator besar tanpa mesin kerja yang kredibel.

Reformasi struktural, bukan hanya kosmetik, dibutuhkan. Termasuk revisi UU KPK 2019 yang terbukti menggerogoti independensi dan keberanian lembaga antirasuah tersebut. Tanpa ini, demokrasi prosedural akan semakin tumpul dalam menegakkan keadilan substansial.

Apa yang Perlu Dilakukan?

1. Rekonstruksi Kepercayaan, Bukan Sekadar Publikasi

Kepercayaan publik bukan dibangun dari slogan atau simbol seperti “Polisi Bersayap Malaikat”, tetapi melalui:

Transparansi informasi kasus di kanal resmi.

Kolaborasi dengan jurnalis investigatif.

Pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan kasus prioritas.


2. Bangun Institusi, Bukan Kultus Tokoh

Kinerja individu, termasuk Jaksa Agung saat ini, tentu penting. Namun jangan jatuh pada jebakan personifikasi. Yang dibutuhkan Indonesia adalah institusi yang kuat dan tahan terhadap pergantian kepemimpinan, bukan figur sesaat.

3. Putus Oligarki, bukan Sekadar Tangkap Figur

Kasus Johnny Plate, Duta Palma, dan tambang timah bukan anomali, tetapi simptom dari sistem oligarki hukum—sebuah lingkaran setan antara kekuasaan politik, modal, dan kekebalan hukum.

Pemutusan mata rantai ini membutuhkan:

Audit independen lembaga hukum.

Perlindungan saksi dan whistleblower.

Pembatasan konflik kepentingan dalam penegakan hukum.


4. Reformasi Budaya Hukum Sejak Dini

Tidak kalah penting, pendidikan hukum harus dimulai sejak dini—dari sekolah dasar hingga lembaga pendidikan ASN dan aparat penegak hukum—dengan kurikulum yang menekankan etika, integritas, dan keberpihakan pada rakyat.

Lentera yang Tak Boleh Padam

Dalam artikelnya, Denny JA menulis, "Keadilan adalah cahaya yang lahir dari luka." Analogi ini sangat kuat. Tapi cahaya itu hanya bertahan jika lentera kepercayaan publik terus diberi bahan bakar: keberanian moral, reformasi sistemik, dan ketulusan politik.

Saat ini, Kejaksaan Agung membawa obor yang mulai bersinar. Tapi sejarah telah mengajarkan: obor keadilan bisa dengan cepat dipadamkan oleh badai kompromi, tekanan oligarki, dan politik dagang sapi.

Oleh karena itu, jika kita ingin membangun masa depan hukum yang adil, tak cukup hanya bergantung pada viralitas atau figur tunggal. Kita butuh revolusi senyap—yakni reformasi yang terstruktur, menyeluruh, dan berbasis prinsip.

Kita butuh hukum yang bekerja bukan karena viral, tapi karena nurani.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Kembali ke UUD 1945: Refleksi atas Dekrit 5 Juli 1959 dalam Konteks Demokrasi Kontemporer

Oleh Tim Teropong Senayan
pada hari Sabtu, 05 Jul 2025
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang menandai titik balik perjalanan konstitusional Indonesia: Dekrit Presiden tentang Kembali ke UUD 1945. Dekrit ini, yang menandai ...
Opini

66 Tahun Dekrit Presiden: Sebuah Peta Jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Hari ini, 5 Juli 2025, genap 66 tahun peristiwa bersejarah saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Dekrit yang dikeluarkan melalui ...