TEROPONGSENAYAN.COM -
Sakit asam lambung kronis, dikasih obat paracetamol.
Itulah PYS.
Analogi sederhana ini hendak menggambarkan betapa kebijakan ekonomi di bawah kepemimpinan PYS terlihat reaktif dan superfisial: masalah struktural dibaca seakan persoalan jangka pendek, lalu diberikan solusi yang tidak relevan.
Laporan LPS: Angka-angka yang Meninabobokan
Pada 27 Agustus 2025, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merilis data tentang kondisi perbankan. Pada Juli 2025, penyaluran kredit tumbuh 7,03% (yoy), didorong aktivitas investasi yang masih cukup tinggi. Dana Pihak Ketiga (DPK) pun meningkat 7,00% (yoy). Sumber pertumbuhan DPK ini dikaitkan dengan perbaikan aktivitas fiskal pemerintah, gerak korporasi, dan konsumsi masyarakat. Hal ini tercermin dalam peningkatan giro sebesar 10,72% (yoy) dan tabungan 5,91% (yoy).
Sekilas, angka-angka ini tampak positif. Bahkan, indikator permodalan bank menunjukkan ketahanan yang cukup kuat. Rasio kecukupan modal (KPMM) industri terjaga di level 25,81% pada Juni 2025, jauh di atas ambang batas regulasi. Kondisi likuiditas juga terlihat memadai: AL/NCD mencapai 119,43% (threshold: 50,0%) dan AL/DPK 27,08% (threshold: 10,0%).
Rasio kredit bermasalah pun masih terkendali. NPL berada di level 2,28%, sementara Loan at Risk (LaR) menurun ke 9,68% dari total kredit pada Juli 2025.
Di Balik Angka: Apakah Fondasi Ekonomi Kuat?
Namun, sebagaimana obat yang salah sasaran, laporan LPS ini menutup mata dari realitas mendasar. Ada beberapa catatan kritis:
1. Pertumbuhan kredit 7,03% yoy bukanlah angka yang menggembirakan jika dibandingkan dengan kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, kredit investasi lebih banyak dinikmati kelompok korporasi besar, sementara kredit untuk UMKM masih tersendat.
2. Kenaikan DPK yang dipacu oleh giro (10,72%) lebih menunjukkan konsentrasi dana pada kalangan korporasi dan pemerintah. Tabungan masyarakat hanya tumbuh 5,91%, mencerminkan daya beli yang belum pulih sepenuhnya. Dengan kata lain, konsumsi rumah tangga masih rapuh.
3. Kekuatan permodalan (KPMM 25,81%) memang solid di atas kertas, tetapi tidak otomatis mencerminkan optimalisasi intermediasi perbankan. Bank cenderung menahan modal untuk berjaga-jaga, bukan menyalurkannya untuk menggerakkan sektor riil.
4. Rasio NPL 2,28% dan LaR 9,68% relatif terkendali. Tetapi angka ini bisa jadi cerminan kebijakan restrukturisasi kredit yang diperpanjang, bukan perbaikan fundamental pada kualitas usaha debitur. Risiko tersembunyi tetap ada.
Obat Salah, Penyakit Kronis Tetap Ada
Masalah mendasar ekonomi Indonesia bukanlah soal likuiditas perbankan atau sekadar NPL, melainkan lemahnya daya beli masyarakat, ketimpangan struktural, dan ketergantungan tinggi pada arus modal global. Jika pemerintah hanya menyoroti stabilitas angka-angka finansial, maka ibarat pasien dengan penyakit kronis yang diberi obat pereda nyeri: sesaat tampak membaik, namun akar masalahnya tetap tidak tersentuh.
Dengan kata lain, kebijakan PYS saat ini lebih banyak berhenti pada kosmetik angka makro, bukan menyentuh persoalan mendasar dalam sektor riil.
Penutup: Jalan Terjal di Depan
Ekonomi Indonesia membutuhkan diagnosa yang tepat: revitalisasi industri dalam negeri, penguatan UMKM, dan keberpihakan fiskal yang konsisten pada mayoritas rakyat. Tanpa itu, laporan indah dari LPS hanyalah “paracetamol” yang menutupi rasa sakit sesaat, sementara penyakit kronis terus menggerogoti tubuh ekonomi nasional.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #