Meskipun persoalan bilateral antara Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi dan Steven Hadisurya Sulistyo sudah dianggap selesai setelah permintaan maaf Steven atas penghinaan “indon-tiko, pribumi tiko”-nya, tidak berarti masalah fundamental dalam hubungan antara pribumi dan nonpribumi sudah teratasi.
Jauh dari itu. Dan sangat keliru. Bahkan, di bawah permukaan, hubungan pri-nonpri sesungguhnya memburuk dari waktu ke waktu. Status quo ini sangat berbahaya di masa depan.
Kita tidak perlu lagi merasa tabu membicarakan ini. Tidak usah lagi berusaha menghapuskan istilah pri-nonpri hanya dengan alasan tidak enak mendengar sebutan itu. Sebab, masalah yang ada sekarang ini bukan pada pemakaian istilah itu baik secara lisan maupun tulisan. Melainkan, ganjalan pri-nonpri terletak pada ketimpangan keadilan sosial antara warga pribumi dan nonpribumi.
Memang harus diakui bahwa ketimpangan keadilan itu pun dialami juga oleh sebagian kecil warga nonpribumi. Tetapi, secara global dalam gambar yang besar, dikotomi pri-nonpri, tegasnya antara waga pribumi dan warga Tionghoa, masih sangat sah untuk dipakai.
Kalau semata karena rasa tabu saja yang membuat kita berusaha melenyapkan istilah yang mencerminkan polarisasi itu, sesungguhnya polarisasinya sendiri tidak akan hilang. Polarisasi dalam bentuk ketimpangan keadilan sosial itu tetap membara di bumi Indonesia. Tetap menyimpan potensi untuk berubah menjadi ledakan besar.
Kita desak sekuat-kuatnya semua elemen bangsa Indonesia, terutama Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi), agar memberikan perhatian serius terhadap masalah ini demi menghindarkan ledakan dahsyat itu. Potensi ledakan itu harus segera dijinakkan dengan berbagai pendekatan dan kebijakan formal dan informal.
Pak Jokowi, rakyat yang di bawah ini tidak tahu apa yang Bapak pikirkan tentang hubungan pri-nonpri dan tentang ketimpangan keadilan diantara keduanya. Rakyat juga belum melihat langkah konkrit yang Bapak lakukan untuk menjinakkan potensi ledakan ketimpangan sosial itu.
Kalau Pak Jokowi beranggapan bahwa masalah pribumi-Tionghoa itu hanya ada di dalam pikiran segelintir orang saja, itu berarti beliau menerima masukan yang keliru dari para pembantu atau teman-temannya.
Kalau, sebagai contoh, Pak Jokowi menerima masukan dari Pak Luhut Panjaitan bahwa persoalan pribumi-Tionghoa itu tidak ada, memanglah tidak mengherankan. Sebab, Pak Luhut termasuk orang yang sangat banyak menikmati hubungan khusus dia dengan para saudagar dan konglomerat Tionghoa.
Pak Luhut termasuk salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia memiliki omzet usaha yang bernilai puluhan triliun rupiah. Dia memiliki menara gedung sendiri di kawasan supermahal di Jakarta. Dia juga menyimpan uang di luar negeri sebagaimana dipaparkan oleh Panama Papers.
Atau, Pak Jokowi menerima masukan dari Pak Jusuf Kalla tentang “tak ada masalah” hubungan pribumi-Tionghoa. Yang ini pun juga tidak menghenrankan. Karena Pak JK adalah pelaku bisnis yang sangat banyak berkepentingan dengan para konglomerat Tionghoa.
Mungkin juga ada masukan dari Pak Surya Paloh supaya “Pak Presiden tenang saja, tidak ada masalah”. Masukan ini pun sangat subyektif karena Pak Paloh adalah pengusaha yang boleh dikatakan banyak menjalankan, atau banyak dibantu oleh, kepentingan bisnis orang Tioghoa.
Atau, banyak lagi masukan dari para menteri, penasihat, kawan-kawan dan politisi yang mendukung Pak Jokowi bahwa “ketimpangan keadilan sosial pribumi-Tionghoa, bukan masalah”.
Kalau masukan-masukan dari orang-orang kaya ini yang Pak Jokowi dengar, atau masukan dari para penasihat yang mungkin tidak paham atau telah disterilkan, lagi-lagi tidak mengherankan kalau beliau sampai saat ini tidak peduli terhadap ancaman ledakan yang bakal dahsyat itu.
Sebab, mereka ini tidak merasakan ketimpangan keadilan itu di akar rumput, seperti yang dirasakan rakyat miskin. Mereka ini memiliki kekayaan triliunan, uang mereka “tak bernomor seri” lagi. Tentu saja nasihat mereka tidak membuat Pak Jokowi prihatin dan cemas terhadap ketimpangan keadilan sosial yang semakin meradang di bawah permukaan.
Pak Jokowi, kami menyampaikan peringatan dan saran seperti ini karena kami melihat sendiri situasi yang berlangsung. Setiap hari kami menyaksikan “live event” antara pribumi dan warga Tionghoa. Setiap hari kami menyaksikan wujud ketimpangan keadilan sosial itu.
Pak Jokowi, sebaiknya jangan biarkan orang pribumi tergeser secara konstan menuju ke pinggiran “nothing to lose”, ke jurang “hidup atau mati sama saja”.
Bapak memiliki kekuasaan untuk mencegah ini. Bersama DPR, Pak Jokowi bisa mengambil langkah-langkah konstitusional agar efek negatif penumpukan kekayaan di tangan para konglomerat, saudagar, dan orang-orang kaya Tionghoa, bisa ditangkal secepat mungkin.
Ingat Pak, potensi ledakan itu menguat terus dari hari ke hari.(*)
(Artikel ini merupakan opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #