Opini
Oleh Fahrus Zaman Fadhly (Aktivis Mahasiswa 98) pada hari Jumat, 25 Mei 2018 - 04:20:17 WIB
Bagikan Berita ini :

Politik Belah Bambu

48Fahrus Zaman Fadhly.jpg.jpg
Fahrus Zaman Fadhly (Sumber foto : Ist)

Politik belah bambu adalah politik yang membelah bambu yang semula terpadu dan menyatu, lalu dibelah. Yang satu diangkat, yang lainnya diinjak.

Politik belah bambu adalah politik khas kolonial. Di era Yunani dan Romawi pun begitu. Bahkan politik yang menghewankan manusia ini sudah terjadi sejak zaman Batu.

Politik belah bambu biasa dilakukan oleh bangsa-bangsa imperialis Eropa. Sejak abad 15, bangsa-bangsa penjajah Eropa melakukan ekspansi dan aneksasi wilayah.

Di dalam wilayah jajahannya mereka menerapkan politik belah bambu agar kelompok-kelompok besar itu dipecah-belah menjadi kelompok kecil sehingga tidak kuasa melakukan perlawanan politik dan militer.

Demikian pula saat Belanda menjajah bangsa kita. Belanda memelihara "ulama" tertentu dan memberangus ulama lainnya. Ulama pejuang sejati ditindas, ulama su' diagungkan. Bahkan, dalam sejumlah riset sejarah, ada tokoh-tokoh ulama dan kaum bangsawan tertentu mendapatkan previlege dari Belanda, sementara ulama dan tokoh yang anti kolonialisme diburu dan dipenjarakan.

Politik belah bambu identik dengan _devide et impera,_ atau politik adu domba. Antar dua domba diadu. Lalu, bagaimana bila yang diadu para ulama bukan domba Garut?

Politik khas kolonial ini yang dituding banyak tokoh dan analis yang sedang dilakonkan oleh pihak Istana. Eh, jangan salah kawan, oleh Kemenag dalam soal "Daftar 200 Penceramah Rekomendasi Pemerintah." Yang tak masuk dalam daftar adalah lenceramah, da'i atau muballigh haram jadah.

Tapi? Ini perintah Istana atau cara sang menteri mencari muka istana? Kalau seseorang mencari muka, berarti sedang kehilangan muka atau berusaha memantas-mantaskan diri agar mukanya tampak berkinerja?

Lebih runyam lagi, yang mulia almukarram KH. Said Aqil Siraj menyarankan Kemenag membuat daftar ulama yang tidak baik, contohnya Habib Rizieq Shihab. Astaghfirullah. Lagi-lagi, politik belah bambu sangat ampuh membelah anak-anak bangsa. Jadi siapa yang sesungguhnya penista Pancasila sila ke-3 "Persatuan Indonesia?" Siapa sesungguhnya yang merobek persatuan dan kohesi nasional? Bukankah klaim paling NKRI hanya pepesan kosong?" Slogan "Saya Indonesia, Saya Pancasila hanya isapan jempol?"

Menag, Mr. Blunder

Melihat praktik politik belah bambu yang mencemaskan, Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan geram. "Cabut itu, itu adu domba," ujar Zulkifli dengan nada tinggi. Tak biasa politisi santun itu berbicara dengan nada tinggi.

“Segera tarik karena ini adalah blunder. Kementerian Agama blunder, blunder besar,” tegas Zulkifli, Senin (21/5/2018).

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun angkat bicara. Singa senayan ini mengaum. Pemerintah, menurutnya, tak perlu mengatur soal penceramah.

"Nggak perlu, bukan tugas pemerintah itu. Tugas pemerintah ini bikin infrastruktur, suruh rakyat kenyang, suruh orang berpendidikan supaya orang makin cerdas, makin rasional dan ilmiah sehingga pemikiran radikal dan yang tidak cerdas makin pintar," tegas Fahri seperti dikutip banyak media.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir juga menilai keliru langkah Kemenag RI soal daftar 200 penceramah.

Pemerintah, katanya, cukup menetapkan sejumlah kriteria seperti memiliki akhlak, etika dakwah, etika bertabligh, dan etika menyampaikan pesan-pesan agama. Bukan dengan membuat daftar yang memicu kontroversi.

Nitizen juga banyak mempertanyakan kenapa para penceramah yang berkualitas seperti Bachtiar Nasir, Abdus Somad, Adi Hidayat, Hanan Attaki yang banyak digandrungi masyarakat justru tidak ada dalam daftar.

Jejak Politik Belah Bambu

Jejak rekam politik belah bambu ini bukan kali pertama. Masih segar dalam ingatan kita, perkara pemberian grasi kepada Antasari agar menyerang SBY. Perkara Osman Sapta Oedang dengan Prabowo di tubuh HKTI.

Soal perseteruan Setia Novanto dan Ade Komarudin di Partai Golkar. Bara konflik di tubuh PPP antara Jan Faridz dan Romahurmuziy. Politik belah bambu juga terlihat antara Muhammadiyah dan NU dalam soal Full Day School (FDS).

Mengadu-domba sesama anak bangsa sungguh perbuatan tercela. Hanya pemimpin yang haus kekuasaan yang menerapkan politik adu-domba. Sengaja ditanam bara konflik, agar sesama anak bangsa berseteru. Dari nun jauh di sana, sang durjana tersenyum menikmati. Tipikal pemimpin seperti ini memang tak layak memimpin negeri. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #kementerian-agama  #mpr  #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...