Opini
Oleh M Rizal Fadillah (Mantan Aktivis IMM) pada hari Senin, 27 Mei 2019 - 16:36:58 WIB
Bagikan Berita ini :

Police State

tscom_news_photo_1558949818.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Ist)

Besarnya peran polisi atau semakin teralokasi jabatan publik oleh elemen kepolisian yang dapat menggeser elemen lain seperti TNI mengindikasi arah politik yang kurang sehat.
Konsekuensinya adalah kepolisian menjadi soroton publik yang bisa menurunkan kewibawaan dan kepercayaan. Apalagi adanya tragedi baru baru ini. Betapa brutalnya tindakan sebagian polisi terhadap warga sipil dalam menangani aksi damai di Jakarta yang menimbulkan korban tewas dan luka-luka. Pemeriksaan dan penangkapan tokoh dan aktivis pun semakin gencar dengan tuduhan beragam dari ujaran kebencian, hoax, hingga makar.

Muncul kekhawatiran akan semakin terancamnya kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum di negara Republik Indonesia. Kedaulatan yang bersandar pada kekuasaan semakin menguat. Inilah yang disinggung oleh UUD1945 sebagai "machtstaat" itu. Hukum menjadi alat kepanjangan kekuasaan. Demikian pula dengan alat penegak hukum. Kekuasaan di samping semakin sentralistik juga lebih otoriter. Polisi menjadi kekuatan terdepan dalam proses pembungkaman atau pelemahan peran publik. Kontrol arus informasi diperketat. Fenomena "pembunuhan" jaringan informasi dan medsos atas instruksi Menkopolhukam baru baru ini menunjukkan betapa besarnya proteksi politik penguasa.

Dalam teori dan sejarah perkembangan ketatanegaraan peningkatan peran polisi untuk mengontrol kebebasan ekspresi rakyat adalah kemunduran. Ini menjadi karakter primitif apa yang disebut sebagai Police State (Negara Polisi).
Tipton, Elis K (2013) menyatakan bahwa Police State adalah "is a term denoting government that exercises power arbitrarily through the power of the police force". Peran dan tindakan kepolisian yang sangat dominan.

Sejalan dengan itu adalah pandangan Chapman, B dalam "Government and Opposition" (2007) tentang sifat dari Negara Polisi yang negatif. Menurutnya "Inhabitants of a police state may experiance restrictions on their mobility or on their freedom to express or communicate political or other views, which one subject to police monitoring or enforcement".
Sempitnya ruang gerak berekspresi atau kebebasan untuk mengkritisi kebijakan Pemerintah yang selalu dihadapkan dengan pengawasan dan tindakan kepolisian adalah cermin dari iklim buruk Negara Polisi.

Penyempitan ruang gerak juga masuk melalui akses pengguna elektronik. UU ITE menjadi aturan "karet" yang mampu menjerat banyak pesakitan yang berada di jalur lalu lintas informasi. Ini tentu menambah kualifikasi negara yang menurut Jonathan Logan menjadi "Electronic Police State". Logan (2008) menulis " An electronic police state is one in which the government aggressively use electronic technologies to record, organize, search and distribute forensic evidence against it citizens".
Pengawasan Pemerintah melalui aparat kepolisian terhadap masyarakat menjadi mengetat dan meluas.

Pemerintahan demokrasi sedang menghadapi ujian yang serius. Kecenderungan menjadi negara yang abai terhadap nilai-nilai "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan" semakin mengental. Akibatnya menjauh juga dari sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dimana praktek politik dan eknomi menjadi tidak manusiawi dan semakin biadab. Police State hakekatnya adalah negara oligarkhi dan tirani. Musuh dari negara hukum (rechsstaat) yang bersendikan "Ketuhanan Yang Maha Esa". Keadilan sosial dan Persatuan Indonesia menjadi terancam. Negara Pancasila bisa tinggal kenangan.

Moga elit yang angkuh segera sadar dan kembali pada proporsinya. Police State harus dicegah.
Arahnya oligarkhi dan tirani.

Bandung, 27 Mei 2019 (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #polri  #bawaslu  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kembali ke UUD 1945: Refleksi atas Dekrit 5 Juli 1959 dalam Konteks Demokrasi Kontemporer

Oleh Tim Teropong Senayan
pada hari Sabtu, 05 Jul 2025
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang menandai titik balik perjalanan konstitusional Indonesia: Dekrit Presiden tentang Kembali ke UUD 1945. Dekrit ini, yang menandai ...
Opini

Kebangkitan Kejaksaan, Kemunduran KPK, dan Tantangan Reformasi Penegakan Hukum Era Prabowo

Di tengah apatisme publik terhadap penegakan hukum, sebuah fakta mengejutkan hadir melalui Podcast Suara Angka LSI Denny JA edisi awal Juli 2025. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, Kejaksaan ...