Opini
Oleh Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) pada hari Senin, 27 Mar 2017 - 12:10:38 WIB
Bagikan Berita ini :

Politik Tanpa Agama : Rakyatnya Harus Atheist atau Komunis

26IMG_20170201_194417.jpg
Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) (Sumber foto : Istimewa )

Presiden Joko Widodo (Pak Jokowi), ketika meresmikan titik nol Islam di Barus, Tapanuli Tengah, 24 Maret 2017, meminta agar urusan politik dipisahkan dari urusan agama. Beliau bukan orang pertama yang menganjurkan pemisahan ini. Sudah berkali-kali imbauan serupa diteriakkan oleh sekian orang pemimpin, namun belum juga bisa dilaksanakan.

Mengapa belum bisa? Masalahnya sederhana saja. Selagi umat beragama, utamanya umat Islam, masih melaksanakan perintah sholat, zakat, puasa, ibadah haji, dan selagi pendidikan Islam diselenggaran oleh berbagai lembaga seperti pesantren dan madrasah, dll, maka sepanjang itu pula keinginan untuk memisahkan politik dan agama akan gagal terus.

Dengan permintaan maaf lebih dulu kepada Pak Jokowi, saya ingin menduga-duga sistem kenegaraan bagaimana yang kemungkinan sangat beliau idamkan.

Berdasarkan fakta yang ada, di dunia ini hanya ada dua sistem yang relatif bebas dari pengaruh elemen keagamaan, yaitu sekulerisme dan komunisme. Tidak ada sistem ketiga, dan tidak mungkin merekayasa sistem ketiga itu.

Dengan begitu, road map untuk Pak Jokowi menuju sistem kenegaraan dan pemerintahan Indonesia yang bebas dari elemen keagamaan, sangat simpel. Yaitu, jadikan rakyat Indonesia ini atheist atau paksakan saja pemberlakuan paham komunis.

Pilihan pertama: rakyat atheist. Kalau rakyat Indonesia sudah menjadi atheist, maka sampailah Pak Jokowi ke “surga dunia” yang beliau idam-idamkan. Parlemen Pak Jokowi tidak akan diisi oleh partai maupun politisi yang berbasis umat beragama. Indonesia akan berubah menjadi Prancis, Italia, Belgia, atau Belanda yang rakyatnya sekuler. Masjid kosong, tidak ada lagi gangguan suara azan.

Hanya saja, sebelum sampai ke situ, Pak Jokowi dan think-tanknya mau tak mau harus bekerja keras untuk mengatheistkan rakyat Indonesia.

Langkah-langkah awalnya lebih kurang seperti ini: gembok semua masjid yang ada di seluruh Indonesia dan keluarkan larangan pemberian nama muslim untuk semua bayi yang lahir. Tutup semua pesantren, sita semua mushaf al-Quran, tahan semua ulama, ustad serta guru agama, perbanyak sekolah-sekolah liberal, dan perkuat gerakan-gerekan semacam LGBT, dll.

Itu pun belum tentu langsung rakyat akan menjadi atheist. Perlu puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Barulah nanti Pak Jokowi (semoga panjang umur) bisa duduk sebagai presiden tanpa harus membuka pidato dengan “assalamualaikum” atau “bismillahirrahmanirrahim”. Tidak perlu lagi mengucapkan “la haula wala quwwata illa billah”. Dan, tidak ada lagi jadwal kunjungan ke pesantren, bertemu para ulama, atau acara di Masjid Istiqlal (karena semua masjid digembok permanen).

Tidak ada lagi FPI dan Habib Rizieq yang membuat Pak Jokowi repot. Tidak ada lagi Aksi 411 atau 212, dsb. Tidak ada lagi pasal-pasal penistaan agama. Barulah nanti acara atau rapat di Istana bisa menyajikan miras (teramasuk yang oplosan) dan tari-tarian eksotik.

Pilihan yang kedua bagi Pak Jokowi ialah memaksakan sistem komunisme. Tindakan yang perlu dilakukan lebih kurang sama dengan langkah-langkah yang diambil untuk mengatheistkan rakyat seperti yang diuraikan diatas. Yaitu, agama Islam harus dilenyapkan dari bumi Indonesia. Tentunya banyak tempat untuk berkonsultasi tentang cara mengkomuniskan rakyat Indonesia. RRC atau Korea Utara tampaknya siap membantu.

Terus, seperti apa kira-kira risiko yang bakal muncul kalau Pak Jokowi memutuskan untuk mengadopsi salah satu pilihan tadi?

Untuk menguji risikonya, sangat mudah. Coba saja dulu digembok 10 masjid di setiap kabupaten/kota di Indonesia. Kemudian, coba dulu tutup 50 pesantren dan tahan 100 kiyai. Pasti akan bisa diukur seberapa ringan atau seberapa berat upaya untuk mengatheistkan atau mengkomuniskan rakyat Indonesia.

Tadi disebutkan bahwa tidak ada jalan ketiga diantara atheisme dan komunisme. Lantas, bagaimanakah jalan keluar yang terbaik agar Pak Jokowi bisa menjadi presiden dengan kondisi rakyat tidak berubah, tetap seperti sekarang? Artinya, rakyat tidak diatheistkan atau dikomuniskan?

Jawabannya: jalan keluar itu bisa ada, bisa juga mustahil ada. Kalau Pak Jokowi mau dan sanggup, buat saja program relokasi rakyat Indonesia yang beragama Islam ke kawasan lain, misalnya ke benua Antartika di dekat Kutub Selatan. Tentu biayanya sangat mahal karena Pak Jokowi harus menyiapkan permukiman yang tahan iklim dingin sepanjang tahun. Juga harus menyiapkan kawasan industri dan perkotaan serta sistem transportasi yang sesuai dengan cuaca minus 15 derajat.

Meskipun pilihan ini berat, tetapi imbalannya sangat memuaskan. Artinya, dengan pemindahan warga muslim ke Antartika, Pak Jokowi menjadi tenang dan nyaman karena tidak ada lagi yang “ngerecoki” beliau di Indonesia.

Pilihan lain yang lumayan ringan ialah, Pak Jokowi coba kumpulkan WNI yang tidak beragama, kemudian bawa mereka pindah ke tempat lain. Kalau mau ke Antartika juga, tentu bisa bermusyawarah dengan PBB.

Pilihan ini pun sangat berat sebetulnya. Tetapi, tidak ada salahnya dicoba untuk memastikan bahwa sistem kenegaraan dan pemerintahan di Antartika itu nanti betul-betul bebas dari elemen keagamaan.(*)

(Artikel ini adalah opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...