Opini
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle) pada hari Rabu, 01 Mei 2019 - 08:49:18 WIB
Bagikan Berita ini :

Ibukota NKRI atau Ibukota Negara Persemakmuran?

tscom_news_photo_1556675358.jpeg
(Sumber foto : Ist)

Jokowi telah merestui ibukota Indonesia pindah dari Jawa. Demikian berbagai berita menghiasi media beberapa hari ini. Alasan pindah ibukota ini mirip seperti Sukarno dulu mengusulkan Kalimantan Sebagai ibukota Indonesia. Alasannya adalah agar negara kita tidak Jawa centris.

Pindah ibukota biasa terjadi di dunia. Belanda memindahkan ibukotanya dari Amsterdam ke Den Haag, Amerika dari New York ke Washington DC, misalnya. Salah satu alasan pemindahan ini adalah memisahkan aktifitas kota bisnis dengan politik.

Persoalannya di Indonesia saat ini isu pemindahan ibukota bersamaan dengan adanya isu pilpres, di mana Jokowi diperkirakan kalah di luar Jawa, khususnya Sumatra, baik oleh prof Mahfud, maupun majalah Tempo. Sehingga pengangkatan isu ini terkesan ingin mengobati atau pelipur lara rakyat luar Jawa.

Logika memindahkan ibukota ke luar Jawa, dalam situasi pembangunan yang timpang (sekitar 60% investasi tetap di Pulau Jawa sampai saat ini), adalah lebih kepada "lip service" alias propaganda politik saja. Kegelisahan rakyat luar Jawa sesungguhnya saat ini terjadi karena representasi kepemimpinan nasional, jika Jokowi menang, karena wisdom pasangan presiden/wakil presiden yang harusnya Jawa/luar Jawa telah dilanggar. Bahkan, ketika Indonesia merdeka, wisdom yang berkembang, Indonesia membuat adanya jabatan Perdana Menteri, untuk orang non Jawa, sehingga keterwakilan kepemimpinan nasional semakin lengkap.

Situasi nasional saat ini, baik dari fakta sosial adanya pembelahan sosial pendukung Jokowi yang berbasis Jawa dan Islam Nusantara versus pendukung Prabowo berbasis luar Jawa dan Islam militan, dan propaganda professor Mahfud MD bahwa pendukung Prabowo Islam radikal, menelurkan bara api yang mempertanyakan pentingnya Indonesia sebagai negara kesatuan. Ditambah lagi, Yusril Izha Mahendra, sejak awal sudah mengatakan bahwa pasal "NKRI" 6A UUD 45 tidak diperlukan (bahwa kemenangan capres harus mempertimbangkan sebaran wilayah kemenangan).

Jika situasi ke Indonesiaan saat ini hanya ditanggapi dengan isu pemindahan ibukota, bukan isu kepemimpinan nasional yang sungguh2 mewakili keberagaman suku bangsa dan daerah, maka rakyat bisa jadi bukan merindukan ibukota NKRI, melainkan mulai merindukan ibukota negara persemakmuran ataupun federal.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Setyadharma Pelawi Tan Malaka Reformasi.

Oleh Eko S Dananjaya.
pada hari Senin, 30 Jun 2025
TEROPONGSENAYAN.COm - 1988 ingatan saya tertuju pada sosok berbadan kurus, berbaju putih dan kuat merokok. Pertemuan kali pertama itu di kantor LPHAM  Hj Princen (Pongke) yang letaknya tak jauh ...
Opini

Rapor Merah Bertambah: Tantangan Awal Pemerintahan Prabowo-Gibran

“Rakyat menanti, bukan sekadar kata, tapi tindakan yang mengubah luka menjadi daya.” – Denny JA, Suara Angka Presiden Prabowo Subianto memasuki awal masa kepemimpinannya ...