Opini
Oleh Yudi Syamhudi Suyuti, Koordinator Eksekutif JAKI (Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional) pada hari Minggu, 25 Agu 2019 - 13:47:00 WIB
Bagikan Berita ini :

Menjawab Jokowi Yang Tidak Setuju MPR Menjadi Lembaga Tertinggi Negara

tscom_news_photo_1566710848.jpg
(Sumber foto : Istimewa)

Jokowi tidak setuju MPR menjadi lembaga tertinggi adalah bentuk ketakutan seolah dirinya merasa sedang akan digulingkan. Padahal ini bicara soal masa depan kedaulatan rakyat dan masa depan kemerdekaan yang menjadi nyata. Dan MPR menjadi Lembaga Tertinggi di Negara itu harus diisi bukan hanya DPR atau DPD saja, melainkan juga ada beberapa Utusan yang merupakan Utusan-Utusan Rakyat. Tentu hal ini perlu waktu, sehingga Jokowi tidak perlu ketakutan.

Selain itu memang dengan MPR menjadi Lembaga Tertinggi Negara, Presiden adalah mandataris MPR, akan tetapi posisi MPR disini adalah menseleksi Calon-Calon Presiden yang kemudian dipilih langsung oleh rakyat. Dengan diseleksi oleh MPR, tentu Calon-Calon Presiden merupakan Calon-Calon yang berkualitas. Dan rakyat tinggal memilih yang paling berkualitas diantara yang berkualitas. Hal ini tentu akan memajukan rakyat.

Apalagi Presiden terpilih nanti telah dipandu oleh GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara), tentu akan memudahkan Presiden menjalankan tugasnya. Mungkin Jokowi belum tau, kalau untuk mewujudkan ini perlu proses, sehingga dirinya takut digulingkan. Padahal 10 Partai Politik di DPR telah setuju dengan adanya GBHN dan peningkatan kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Meskipun itu belum memenuhi kriteria kedaulatan rakyat, karena rakyat harus mendorong agar MPR membuka ruang Utusan-Utusan Rakyat, seperti Utusan Wilayah, Utusan Desa, Utusan Golongan, Utusan Agama, Utusan PNS, Utusan Hankam, Utusan LSM, dan Utusan-Utusan lainnya yang diperlukan.

Tujuan semua ini adalah tercapainya kedaulatan rakyat dan kemerdekaan sepenuhnya. Yaitu rakyat berdiri diatas negara. Meski begitu, demokrasi dan kebebasan berpendapat, berpikir dan berserikat tetap menjadi hak rakyat. Dan tentunya tidak ada lagi kekuasaan otoriter, penggunaan aparat keamanan dan hukum untuk kekuasaan juga tidak ada lagi penggunaan UU ITE untuk membungkam demokrasi.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

GOLKAR: Dari Mesin Orde Baru Menuju Dinamika Demokrasi Modern

Oleh Ariady Achmad,Aleg Fpg 1997-2004
pada hari Minggu, 06 Jul 2025
Partai Golongan Karya, atau yang akrab disebut Golkar, merupakan salah satu entitas politik paling berpengaruh dalam sejarah Republik Indonesia. Dari awal berdirinya hingga saat ini, Golkar telah ...
Opini

Kembali ke UUD 1945: Refleksi atas Dekrit 5 Juli 1959 dalam Konteks Demokrasi Kontemporer

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang menandai titik balik perjalanan konstitusional Indonesia: Dekrit Presiden tentang Kembali ke UUD 1945. Dekrit ini, yang menandai ...