Oleh Heri Gunawan Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra pada hari Selasa, 18 Agu 2020 - 19:45:01 WIB
Bagikan Berita ini :

Dari Tujuh Indikator Ekonomi Makro, Hanya Dua Yang Mencapai Target

tscom_news_photo_1597754701.jpg
Heri Gunawan Anggota Komisi XI DPR RI (Sumber foto : Istimewa)

Fraksi Partai Gerindra mencoba menguraikan beberapa catatan terkait dengan RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2019, sebagai berikut:

Pertama, terkait Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), beserta lampirannya yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Fraksi Partai Gerindra memberikan apresiasi atas opini ‘Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)’, terhadap LKPP Tahun 2019 sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Kedua, Mengingat penyusunan APBN Tahun Anggaran 2019 dimulai dengan pembicaraan mengenai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF), dengan merujuk kepada 7 (tujuh) indikator asumsi ekonomi makro, sebagai berikut ;

Dari 7 (tujuh) indikator asumsi dasar ekonomi makro, hanya 2 (dua) indikator mencapai target yang ditetapkan, yaitu indikator inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Tingkat inflasi tahun 2019 sebesar 2,72 persen, atau di bawah target inflasi yang telah ditetapkan dalam APBN 2019, yaitu sebesar 3,50 persen.

Rata-rata nilai tukar rupiah di tahun 2019 berada pada kisaran Rp14.146 per dolar AS, lebih rendah dari asumsi sebesar Rp 15.000.

Namun, 5 (lima) indikator asumsi dasar ekonomi makro meleset dari target yang ditetapkan, yaitu: nilai Indonesian Crude Price (ICP) sebesar 62 USD per barel, lebih rendah dari target 70 USD per barel; lifting minyak bumi hanya mencapai 746 ribu dari target 775 ribu barel per hari; lifting gas bumi hanya tercapai 1,05 juta, sementara asumsinya sebesar 1,25 juta barel setara minyak per hari.

Penting kiranya untuk kita ketahui, secara umum dapat dikatakan bahwa capaian dan realisasi dari asumsi pada APBN TA 2019 meleset dari target yang ditetapkan, termasuk dua indikator penting yaitu; pertumbuhan ekonomi, dan tingkat bunga SPN 3 bulan tercatat sebesar 5,6 persen. Realisasi itu lebih tinggi dari pagu yang ditetapkan sebesar 5,3 persen.

Ekonomi Indonesia selama tahun 2019 hanya tumbuh sebesar 5,02 persen, lebih rendah dari target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2019, yakni 5,3 persen. Bahkan jika dibandingkan dengan RPJMN, pertumbuhan ekonomi di 2019 seharusnya mencapai 8,0 persen. Pemerintah cenderung menyalahkan faktor gejolak ekonomi eksternal dan global. Padahal porsi ekonomi eksternal dan global dalam struktur PDB Indonesia tidaklah signifikan. Peranan ekspor dan impor masing-masing masih di bawah 20 persen.

Capaian pemerintah yang hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen kurang memenuhi ekspektasi rakyat. Pemerintah telah diberi kesempatan untuk membelanjakan anggaran pembangunan hingga Rp2.461,11 triliun, sesuai postur Belanja pada APBN 2019.

Bertambah besarnya anggaran pembangunan ternyata belum mampu mendatangkan perbaikan fundamental ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Yang terjadi malah sebaliknya: Penurunan, jika dibandingkan realisasi tahun sebelumnya tahun 2018, yang mencapai 5,17 persen.

Penurunan pertumbuhan ekonomi itu terlihat dalam porsi industri pengolahan atau manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang telah mengalami tekanan atau konstraksi dari tahun ke tahun. Porsinya di tahun 2019 tinggal 19,70 persen dari PDB, lebih rendah dari porsi tahun 2018 sebesar 19,86 persen.

Pertumbuhan ekonomi juga dirasakan kurang berkontribusi besar terhadap persoalan bangsa: angka Pengangguran Terbuka tetap tinggi, mencapai 7,05 juta orang atau 5,28 persen pada tahun 2019. Jumlah penduduk miskin—dengan garis kemiskinan Rp440.538/kapita/bulan—mencapai 24,79 juta orang (9,22 persen). Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum memberi perbaikan signifikan pada masalah ketimpangan ekonomi, yang terlihat dari indeks gini yang masih berada di angka 0,380.

Tahun 2020 diperkirakan dunia menghadapi krisis bahkan resesi ekonomi akibat pandemi COVID-19. Demikian juga negara kita, dimana pertumbuhan ekonomi pada Kuartal II menjadi negatif. Hal ini disebabkan hampir semua sektor lapangan usaha tumbuh negatif.

Di antara lapangan usaha yang tetap tumbuh positif dan bahkan menjadi penyelamat PDB Indonesia, salah satunya adalah sektor pertanian. Ketika sektor industri minus 6,49 persen pada Kuartal II 2020, sektor pertanian justru tumbuh mencapai 16,24 persen. Naiknya pertumbuhan sektor pertanian di tengah pandemi COVID-19 dan ancaman resesi ekonomi, memberi pesan kuat kepada Pemerintah untuk lebih serius dan tidak basa-basi lagi membangun sektor pertanian.

Fraksi Partai Gerindra DPR RI terus menerus mengajak semua dan mendorong Pemerintah untuk mengambil kebijakan yang melindungi petani dalam skema perdagangan nasional dan internasional.

Dengan memperhatikan efektivitas kebijakan importasi, dan fokus pada perbaikan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN), juga memberikan akses modal bagi pertanian diharapkan dapat mendorong lahirnya regenerasi petani di desa-desa.

Pemberdayaan petani yang sifatnya karikatif dan charity, harus ditinggalkan, digantikan dengan program yang lebih substantif. Termasuk di dalamnya pengembangan koperasi pertanian.

Catatan Kami yang ketiga adalah soal realisasi anggaran Pendapatan Negara, Belanja Negara, dan Defisit Anggaran tahun 2019, yang meleset dari target yang ditetapkan dalam APBN 2019.

Pendapatan Negara hanya terealisasi mencapai 90,56 persen atau sebesar Rp1.960,63 triliun dari target Rp2.165 triliun berarti hanya tumbuh positif sebesar 0,87 persen dari pendapatan negara tahun 2018, sedangkan Belanja Negara terealisasi 93,83 persen atau sebesar Rp2.309,28 triliun dari target Rp2.461,11 triliun.

Berdasarkan realisasi Pendapatan dan Belanja Negara tersebut diperoleh Defisit Anggaran sebesar Rp348,65 triliun, yang berarti lebih 117,8 persen dari target APBN 2019 sebesar Rp296,0 triliun.

Fraksi Partai Gerindra DPR RI menyayangkan tidak terealisasikannya target pendapatan, belanja, dan defisit anggaran yang sudah ditetapkan di dalam APBN 2019.

Tidak tercapainya target Pendapatan Negara tahun 2019 dapat terlihat dari realisasi Penerimaan Perpajakan, dan realisasi Penerimaan Sumber Daya Alam.

Realisasi Penerimaan Perpajakan tercatat hanya mencapai Rp1.546,14 triliun atau sebesar 86,55 persen dari target APBN tahun 2019 sebesar Rp1.785,37 triliun. Sementara realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terpenuhi sebesar Rp408,99 triliun atau mencapai 108,11 persen dari target APBN tahun 2019 sebesar Rp378,3 triliun.

Meski demikian, Realisasi Penerimaan PNBP Sumber Daya Alam (Migas dan Non-Migas) tercatat hanya sebesar Rp154,89 triliun atau 81,20 persen dari APBN 2019 sebesar Rp190,75 triliun. Penyebab tidak tercapainnya target tersebut karena pelemahan harga komoditas Sumber Daya Alam (SDA) dan lifting minyak bumi yang lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Tidak tercapainya Realisasi Penerimaan Perpajakan, terlihat dari turunnya angka rasio pajak. Rasio pajak Republik Indonesia sejak tahun 2014 sebesar 11,4 persen terus mengalami penurunan, dari 10,82 persen tahun 2018 dan turun kembali pada tahun anggaran 2019 menjadi 8,42 persen.

Situasi ini sangat memprihatinkan, karena itu Fraksi Partai Gerindra berpendapat Pemerintah harus bekerja ekstra keras dalam menaikan rasio pajak, sehingga negara tidak tergantung kepada utang untuk pembiayaan yang setiap tahunnya semakin membesar.

Temuan BPK tentang potensi penerimaan negara dari sektor pajak yang belum dioptimalkan mencapai Rp15,9 triliun, berupa pajak yang belum tertagih dan denda keterlambatan.

BPK juga menemukan pengelolaan PNBP dan piutang senilai Rp2,49 triliun pada 16 Kementerian/Lembaga yang tidak sesuai dengan ketentuan. Fraksi Partai Gerindra DPR RI meminta kepada Pemerintah untuk memperhatikan dan menindaklanjuti temuan-temuan BPK tersebut.

Sementara Realisasi Anggaran Belanja Negara tahun 2019 sebesar Rp2.309,28 triliun atau 93,83 persen dari target APBN 2019, juga lebih rendah dari penyerapan belanja tahun 2018 yang mencapai 99,66 persen.

Kecenderungan penurunan realisasi Belanja Negara diharapkan tidak berlanjut, apalagi untuk tahun 2020 yang memerlukan kerja lebih keras lagi di tengah ancaman resesi ekonomi.

Pemerintah perlu melakukan inovasi perbaikan dalam Penyerapan Anggaran, tidak hanya sebatas angka semata tetapi mengutamakan manfaat, kualitas penyerapan dan tepat sasaran.

Meski realisasi Belanja Negara pada tahun 2019 hanya sebesar Rp2.309,28 triliun atau 93,83 persen dari target APBN 2019 sebesar Rp2.461,11 triliun, yang menarik justru realisasi Pembayaran Bunga Utang mencapai Rp275,52 triliun atau 99,87 persen.

Angka ini meningkat sebesar 6,95 persen dibandingkan realisasi Pembayaran Bunga Utang tahun 2018. Realisasi Belanja Hibah tercatat meningkat 325,91 persen, dibanding realisasi tahun 2018. Demikian juga Belanja Bantuan Sosial meningkat 33,40 persen pada tahun 2019, dibanding realisasi tahun 2018.

Ketimpangan dalam realisasi anggaran belanja menunjukkan bahwa di tahun politik 2019, skema Pendapatan dan Kebijakan Pengendalian Belanja belum mampu menghadirkan postur APBN yang kredibel.

Implikasinya adalah posisi Keseimbangan Primer yang tetap negatif sebesar Rp73,13 triliun (minus 0,46 persen dari PDB).

Realisasi Defisit Anggaran tahun 2019 yang melebihi target berakibat pada bertambahnya pembiayaan untuk menutup defisit. Jika melihat Laporan Realisasi APBN tahun 2019, realisasi Defisit Anggaran sebesar Rp348,65 triliun atau 117,8 persen, mengalami kenaikan sebesar Rp52,65 triliun dari yang direncanakan dalam APBN 2019 yang sebesar Rp296,0 triliun.

Akibatnya, realisasi Defisit Anggaran tahun 2019 bertambah menjadi 2,2 persen terhadap PDB, melampaui target defisit anggaran 1,84 persen dalam Undang-Undang APBN 2019.

Jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2018 sebesar Rp269,44 triliun, maka terdapat peningkatan defisit sebesar Rp79,21 triliun.

Kenaikan Defisit Anggaran tahun 2019 secara otomatis menjadikan pembiayaan netto meningkat dari Rp296,0 triliun menjadi Rp402,05 triliun atau naik 135,8 persen, sehingga SILPA murni tahun 2019 menjadi Rp53,39 triliun, meningkat signifikan melebihi SILPA tahun 2018 sebesar Rp. 36,24 triliun.

Sisa Anggaran Lebih (SAL) tahun 2019 tercatat tinggi, sebesar Rp213,63 triliun (sebelum dikurangi angka penyesuaian sebesar Rp941 miliar), karena memasukkan SILPA tahun 2018 yang tidak terpakai selama tahun 2019 sebesar Rp160,24 triliun.

Terkait adanya SILPA yang besar pada akhir tahun 2018 dan tahun 2019 di atas, berbanding terbalik dengan keluhan BPJS Kesehatan yang mengaku defisit sebesar Rp15,5 triliun, yang menyebabkan Pemerintah mengambil keputusan menaikkan iuran BPJS.

Sebuah fakta yang sangat ironis, di satu sisi ada dana berlebih, namun di sisi lainnya ada program kerakyatan yang kekurangan dana.

Fraksi Partai Gerindra DPR RI menyayangkan sikap Pemerintah yang memilih membebani rakyat ketimbang menggunakan dana lebih tersebut untuk menyelesaikan masalah krisis likuiditas BPJS Kesehatan.

Skenario APBN Defisit tentu akan berimplikasi pada penambahan Utang. Diperkirakan adanya kerentanan fiskal yang bersumber dari pengelolaan utang pemerintah sejak tahun anggaran 2018 hingga 2019.

Meski Pemerintah dapat menjaga porsi utang di kisaran 30 persen terhadap PDB, namun debt to service ratio (DSR) di atas rasio wajar, antara lain rasio perbandingan belanja bunga dan pembayaran cicilan pokok utang terhadap penerimaan mencapai 38,3 persen pada tahun 2019. Artinya, kita berada dalam bayang-bayang kerentanan fiskal.

Sejalan dengan hal tersebut, APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal perlu didorong secara konsisten untuk lebih sehat dan mampu mengendalikan risiko dalam jangka panjang.

Harapannya APBN akan efektif untuk menstimulasi perekonomian dan meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat.

Dengan mempertimbangkan kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, Fraksi Partai Gerindra DPR RI memberikan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut ;

1. Pemerintah perlu lebih serius dalam melaksanakan APBN yang sudah disepakati bersama Pemerintah dan DPR.

Penyerapan yang cenderung menurun dan Penerimaan Negara yang tidak sesuai target, menunjukkan bahwa kemampuan Pemerintah dalam melaksanakan APBN belum maksimal.

2. Pemerintah seyogyanya lebih realistis dalam mematok asumsi-asumsi dalam perencanaan APBN serta berupaya mendorong postur APBN yang surplus. Lebih lanjut, Pemerintah harus terus mengevaluasi efektivitas defisit APBN yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal ekspansif.

3. Pemerintah perlu mengambil fokus yang jelas dalam arah pembangunan. Selain intensifikasi sektor manufaktur dan energi untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan Pendapat Negara, Fraksi Partai Gerindra DPR RI memandang bahwa kesejahteraan masyarakat hanya mungkin dicapai dengan pembangunan sektor pertanian yang optimal.

4. Adalah ideal, ketika negara maritim seperti Indonesia menempatkan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) sebagai indikator pembangunan.

Petani dan Nelayan memegang peranan penting dalam pengelolaan kekayaan alam yang melimpah. Dua indikator ini diharapkan mendorong intervensi negara dalam menjaga ketahanan pangan dan mengendalikan impor pangan.

5. Terkait dengan Pendapatan Negara, Fraksi Partai Gerindra DPR RI mendorong Pemerintah untuk melakukan upaya-upaya nyata guna meningkatkan Pendapatan Negara, terutama dari potensi-potensi sumber daya yang tersedia, termasuk menaikan rasio pajak, sehingga negara bisa memiliki sumber penerimaan yang cukup dan dapat mengurangi ketergantungan kepada utang sebagai sumber pembiayaan setiap tahun anggaran.

Berdasarkan sebagaimana dikemukakan di atas, Fraksi Partai Gerindra dapat menerima dan menyetujui dengan catatan, terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019, dengan harapan bahwa catatan-catatan di atas menjadi koreksi yang konstruktif bagi pelaksanaan APBN tahun-tahun yang akan datang.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...