Oleh Hermansyah Kahir Penulis buku ‘Potret Ekonomi Indonesia di Era Digital’ pada hari Jumat, 16 Okt 2020 - 08:41:59 WIB
Bagikan Berita ini :

Potret Kebijakan Ekonomi Indonesia

tscom_news_photo_1602812519.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Istimewa)


Beberapa waktu lalu saya membaca buku karya Revrisond Baswir, Bahaya Neoliberalisme. Meskipun sudah diterbitkan sebelas tahun lalu, tapi buku ini masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Salah satu hal yang menjadi perhatian Revrisond Baswir adalah persoalan ekonomi, seperti utang luar negeri dan dominasi asing—yang menjadi bagian dari agenda neoliberalisme.

Revrisond Baswir bukan satu-satunya tokoh yang mengkritik tajam soal bahaya neoliberaslime. Sederet tokoh seperti Amien Rais, Rizal Ramli, dan Kwik Kian Gie melalui tulisan dan pernyataan langsung dengan lantang mengkritik perekonomian Indonesia yang dinilai terlalu liberal.

Berbicara masalah utang luar negeri, baru-baru ini Bank Dunia (World Bank) merilis laporan International Debt Statistics (IDS) 2021. Dalam laporan IDS tersebut, Indonesia masuk ke dalam daftar 10 negara berpendapatan kecil-menengah dengan utang luar negeri terbesar di dunia.

Indonesia menempati posisi ke-7 dari daftar 10 negara berpendapatan kecil-menengah dengan utang luar negeri pada 2019 mencapai US$402,08 miliar atau sekitar Rp5.940 triliun (kurs Rp14.775). Angka tersebut naik (5,9%) dari posisi utang luar negeri di 2018 yakni US$379,58 miliar atau sekitar Rp5.608 triliun dengan nominal nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sama.

Pertambahan utang yang terus meroket, kebijakan korporasi menjual BUMN ke pihak swasta, dan privatisasi berbagai aset negara menjadi bukti bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sudah dipengaruhi paham neoliberal. Bahkan, UU Cipta Kerja yang hingga saat ini menuai kontrovesi juga dianggap banyak kalangan sebagai produk neoliberalisme karena lebih menguntungkan pihak investor.

Peningkatan utang ini sudah menjadi pengetahuan publik dan sering dikritisi oleh banyak pihak. Tapi sayangnya, sikap pemerintah cenderung menganggap peningkatan utang tersebut adalah hal biasa-biasa saja.

Padahal dengan utang yang terus merangkak naik bangsa Indonesia akan mewariskan utang kepada generasi mendatang.

Selain itu, jika presiden Joko Widodo tidak segera mengeluarkan perpu pembatalan UU Omnibus Law maka cita-cita untuk memajukan kesejahteraan umum semakin sulit direalisasikan mengingat UU Omnibus Law dinilai tidak memihak kepada kepentingan rakyat.

Sementara itu, angka kemiskinan terus meningkat lebih-lebih di tengah ancaman Covid-19. Begitu pun dengan ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Dengan posisi ini, persentase penduduk miskin per Maret 2020 juga ikut naik menjadi 9,78 persen.

Dibanding Maret 2019 peningkatannya mencapai 1,28 juta orang dari sebelumnya 25,14 juta orang. Persentase penduduk miskin juga naik 0,37 persen poin dari Maret 2019 yang hanya 9,41 persen.

Awalil Rizky (2008) berpandangan, dalam kondisi kemiskinan dan ketimpangan yang buruk itu, para pendukung neoliberalisme tetap bersikukuh bahwa konsep mereka adalah yang paling mungkin untuk memperbaiki keadaan.

Sekalipun sudah tidak setegas pada pernyataan awalnya di mana terkenal ungkapan ”tidak ada alternatif”, kaum neoliberalis masih terus mengedepankan keyakinannya hingga kini, dan hanya sedikit ”memperbaiki” konsep kebijakan yang dianggap kurang.

Problem lain yang juga dianggap menimbulkan kemunduran ekonomi adalah korupsi. Korupsi di negeri ini semakin tumbuh subur dan melibatkan banyak aktor baik dari eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Di negara yang tingkat korupsinya tinggi semua bisa “diperjualbelikan” termasuk kebijakan. Budaya korup yang tak terkendali ini pada gilirannya akan berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Studi yang dilakukan Sanjeev Gupta dan timnya (1998) menunjukkan bahwa tingkat korupsi yang tinggi berdampak negatif terhadap ketimpangan ekonomi dan tingkat kemiskinan.

Indonesia bebas dari korupsi bukan sekadar retorika melainkan benar-benar diupayakan. Tanpa ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk menekan tingkat korupsi, perekonomian Indonesia tidak akan tumbuh sesuai dengan harapan kita semua.

Kita belum terlambat karena masih ada waktu untuk berbenah mengembalikan kedaulatan ekonomi kita. Tentu dibutuhkan kemauan politik untuk memperbaiki keadaan yang carut-marut ini.

Sudah saatnya Indonesia membangun dengan kekuatan sendiri dengan cara memaksimalkan segala sumber daya yang dimiliki dan mengurangi ketergantungan kepada pihak asing.

Dominasi asing yang terlalu kuat dikhawatirkan akan menyebabkan bencana ekonomi di masa mendatang karena kebijakan ekonomi nasional kita sudah dipengaruhi paham neoliberaslime.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...