Oleh Rizqi Fathul Hakim, Ketua Umum PB INSPIRA (Inisiator Perjuangan Ide Rakyat pada hari Sabtu, 27 Mar 2021 - 10:22:46 WIB
Bagikan Berita ini :

Peran Polisi Virtual Dalam Merawat Kebhinekaan di Era Disrupsi

tscom_news_photo_1616815366.jpg
Rizqi Fathul Hakim (Sumber foto : Istimewa)

Dunia saat ini sedang menghadapi suatu era yang disebut dengan era disrupsi. Secara umum, Era disrupsi dipahami sebagai perubahan model aktivitas manusia yang awalnya dilakukan di dunia nyata kini berpindah ke dunia maya.

Sekalipun sejarah dari lahirnya era ini sangat erat kaitannya dengan dunia ekonomi [dunia bisnis], kini semangatnya mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Secara perlahan namun pasti, masyarakat dunia kini mulai meninggalkan media massa mainstream seperti koran, radio dan televisi sebagai sumber informasi, dan beralih ke dunia digital [medsos].

Melalui perangkat kecil yang bernama Smartphone atau Gadget, manusia kini dengan mudah mendapatkan jutaan informasi secara cepat hanya dengan sekali sentuh. Namun di balik kecanggihan yang ditawarkan, sejumlah perilaku menyimpang anomie seperti Hoax, rasisme, radikalisme, ujaran kebencian hate speech seringkali menjadikan medsos sebagai sarana utama untuk merusak hubungan sosial.

Benteng tangguh bangsa Indonesia yang bernama Bhineka Tunggal Ika pun mulai terancam eksistensinya. Pada posisi ini penulis menilai peran Polri dengan Cyber Police atau Polisi Virtual memainkan peranan sentral dalam upaya mewujudkan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat [Kamtibmas], khususnya di era disrupsi ini.

Polisi Virtual

Hadirnya Polisi Virtual di era Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menurut penulis adalah suatu inovasi yang sangat relevan dengan kebutuhan zaman, khususnya dalam menjaga dan merawat semangat Kebhinekaan.

Anomie yang dihasilkan oleh masyarakat digital di medsos terbukti mampu dieliminir oleh Polisi Virtual ke level terendahnya. Kini masyarakat lebih terarah dan terdidik dalam menggunakan media sosial.

Fenomena Hoax, rasisme, radikalisme dan hate speech yang seringkali muncul di medsos tak lagi se-masif dan se-intensif sebelumnya. Prinsip kehati-hatian kini lambat laun mulai tertanam dalam kesadaran masyarakat.

Masyarakat digital yang terdidik smart netizen seperti influencer dan penggiat media sosial pun turut dilibatkan oleh Polri untuk melakukan pemantauan Surveillance bila melihat ada aktivitas sosial di medsos yang berupaya mengganggu Kamtibmas. Namun satu hal yang terbilang bijaksana menurut penulis adalah cara Polisi Virtual dalam menjalankan tugasnya. Pada prinsipnya Polisi Virtual ditugaskan untuk melakukan edukasi kepada masyarakat terkait UU Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE].

Ketika Polisi Virtual menemukan akun medsos yang terindikasi melakukan pelanggaran, hal utama yang dilakukan oleh Polisi Virtual adalah melakukan teguran, memberikan pencerahan tentang potensi pelanggaran pasal-pasal dan ancaman, serta memberikan waktu kepada pemilik akun untuk merevisi kalimatnya. Pada posisi ini penulis menilai Polri di bawah komando Kapolri Jenderal Listyo Sigit berhasil mengubah image Polri yang dulu terkesan sangar dan terkenal tanpa ampun, menjadi Polri yang Humanis dan Demokratis.

Merawat Kebhinekaan

Situasi ruang digital Indonesia di era disrupsi ini memang tergolong mengkhawatirkan dalam beberapa tahun belakangan, terhitung sejak Pilkada DKI 2017 hingga Pilpres 2019. Represi teknologis di media sosial yang seringkali dilancarkan oleh oknum-oknum pemecah belah kesatuan dan persatuan bangsa seperti produsen dan distributor Hoax, Hate Speech, rasisme hingga radikalisme [terorisme] seperti mendapatkan rumah besar untuk melipatgandakan diri.

Konsekuensinya, masyarakat menjadi terpolarisasi dan rentan mengalami konflik. Tentu saja hal ini berpotensi mengancam Rumah Kebhinekaan yang sudah lama bangsa kita huni. Bagi penulis, hadirnya Polisi Virtual terbukti memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi masyarakat [digital] dalam melakukan aktivitas. Penulis berkeyakinan bahwa apa yang sedang diupayakan Polri adalah bentuk kecintaan terhadap bangsa dan negara. Setempo jargon "kebebasan ekspresi" perlu kita refleksikan kembali.

Kebebasan ekspresi itu sendiri pada dasarnya tetap memiliki batasan yakni kebebasan orang lain. Bila terjadi gangguan terhadap kebebasan orang lain, maka pada posisi ini Polri secara hukum berhak melakukan penindakan demi terwujudnya Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Kembali ke UUD 1945: Refleksi atas Dekrit 5 Juli 1959 dalam Konteks Demokrasi Kontemporer

Oleh Tim Teropong Senayan
pada hari Sabtu, 05 Jul 2025
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang menandai titik balik perjalanan konstitusional Indonesia: Dekrit Presiden tentang Kembali ke UUD 1945. Dekrit ini, yang menandai ...
Opini

Kebangkitan Kejaksaan, Kemunduran KPK, dan Tantangan Reformasi Penegakan Hukum Era Prabowo

Di tengah apatisme publik terhadap penegakan hukum, sebuah fakta mengejutkan hadir melalui Podcast Suara Angka LSI Denny JA edisi awal Juli 2025. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, Kejaksaan ...