Oleh MN Lapong pada hari Sabtu, 27 Mei 2023 - 23:05:49 WIB
Bagikan Berita ini :

Patut Diduga Hukum Dikorupsi dan Perselingkuhan Dua Institusi Hukum MK & KPK

tscom_news_photo_1685203549.jpeg
Ilustrasi Gedung KPK (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Kegelisahan publik terhadap Putusan MK soal perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK menjadi 5 tahun yang semula menurut Pasal 34 UU KPK No.30/2022 di batasi hanya 4 tahun, sontak membuat publik dan pemerhati korupsi bertanya tanya ada apa?

Dan semakin mengherankan* keberlakuan Putusan 112/PUU-XX/2022 bagi Pimpinan KPK, ada dalam Pertimbangan Paragraf [3.17] halaman 117, yang berlalu surut dimulai di era Pimpinan KPK Firli Bahuri dkk sekarang ini.

Hal tersebut menabrak bentuk prinsip yang berlaku universal yakni asas non-retroaktif. Asas yang melarang suatu undang-undang diberlakukan secara surut. Yang tepat adalah menerapkan kepada pimpinan KPK di periode berikutnya.

Publik menilai keputusan MK memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun dan dipaksakan berlaku surut adalah janggal dan tidak sehat yang “bernuansa politis” jauh dari Asas equality before the law adalah asas di mana setiap orang tunduk pada hukum peradilan yang sama.

Dalam tataran sosiologis pada konteks etika keberadaban hukum produk putusan MK dapat dipersamakan sebagai bentuk Abuse of Power, yakni tindakan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk dalam perbuatan tercela yang melawan hukum oleh para Hakim MK. Sekalipun Putusan Hakim MK tidak bulat, yakni 5 setuju berbanding 4 orang Hakim yang menolak.

Kasus ini dapat dinisbatkan dalam narasi sederhana, bahwa ada kelompok pejabat penegak hukum yakni pimpinan KPK yang akan berakhir masa jabatannya memohon agar jabatannya diperpanjang setahun lagi (untuk sesuatu hal?), kepada penegak hukum lain yakni MK sebagai lembaga berwenang memutuskan. MK Ketok Palu menerima permohonan tersebut sesuai permohonan yang diinginkan KPK. Tok! Tok! Tok!

Alasan Keberatan Publik

Publik yang sudah kecewa dengan kinerja Firli Bahuri dkk, dibanding kinerja pimpinan KPK era sebelumnya, apalagi banyak kasus yang bermunculan dinilai kandas di tangan pimpinan KPK sendiri, membuat publik berharap secepatnya masa jabatan Firli Bahuri dkk segera diakhiri tahun 2023 sesuai periode pimpinan KPK 2019-2023.

Kekecewaan publik terhadap KPK, selain Indeks Persepsi Korupsi yang makin merosot tajam dari skor 38 point di 2021 menjadi 34 point pada tahun 2022, dengan peringkat ke 110 dari 180 negara yang disurvey, dan ini terjadi justru di era Firli Bahuri dkk.

Masalah tebang pilih kasus penanganan korupsi, juga tidak kunjung membaik di era Firli Bahuri dkk malah makin buruk dan membuat publik kecewa.

Kasus Harun Masiku masih menggelantung nasibnya raib seperti nasib Harun Masiku yang hilang. Kasus aliran dana ke anak Presiden Jokowi, Gibran dan Kesang sebesar kurang lebih Rp100 M yang dilaporkan aktivis Reformasi sdr. Ubaidillah Badrun dengan sejumlah barang bukti, juga tidak kunjung jelas nasibnya.

Justru tebang pilih terhadap kasus Formula E yang menyorot Anies Baswedan, dinilai publik janggal karena terkesan ingin dipaksakan oleh pimpinan KPK. Terbukti kemudian hal tersebut meletup ke publik setelah terjadi kisruh di tubuh KPK atas pemecatan Brigjen Endar Prihantoro Ka Deputi Penyidikan KPK, setelah sebelumnya di berbagai media mengungkap perbedaan pendapat dalam beberapa kali gelar perkara kasus Formula E yang menurut Pimpinan KPK sudah seharusnya masuk dalam ranah penyidikan, namun Endar Prihantoro sebagai Direktur Penyidik tetap bersikukuh pada pendapatnya bahwa kasus ini belum cukup bukti untuk disidik.

Borok-borok Pimpinan KPK kemudian berlanjut diungkap di publik, termasuk soal bocornya dokumen rahasia KPK kepada pihak lain yang kasusnya sedang diselidiki.

Atas Nama Hukum, Hukum Dikorupsi

Kesedihan seorang Novel Baswedan Mantan Pejabat Penyidik KPK yang pernah kerja bareng dengan Pimpinan KPK Firli Bahuri seperti yang dilansir dari media Detik.com, menilai Putusan MK Memperpanjang Masa Jabatan Firli Bahuri dkk merupakan “Kemenangan Koruptor dan Pukulan Terhadap Pemberantasan Korupsi di Indonesia.” Kerisauan seorang Novel Baswedan patut kita pertanyakan?

Namun sebaliknya berbeda, menurut MK yang mengabulkan gugatan Nurul Ghufron satu dari Pimpinan KPK ini. Alasannya, supaya kedudukan Pimpinan KPK lebih kuat.

“Oleh karena itu, guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara konstitusional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 tahun,” kata hakim MK Arief Hidayat dalam sidang yang disiarkan kanal YouTube MK.

Jubir MK Fajar Laksono Ketika ditanya wartawan sehubungan putusan MK ini. Bagaimana mekanisme pelaksanaan putusan ini? Fajar Laksono menukas tentu pelaksanaannya dengan Kepres (Keputusan Presiden) jawabnya.

Seperti yang saya duga dalam tulisan awal di atas, secara gamblang diuraikan, bahwa ada 5 hal yang perlu kita simpulkan dalam kasus Putusan MK untuk Petinggi KPK sebagai berikut:

1. Ada azas atau prinsip hukum yang berlaku universal Non Retroaktif, namun putusan MK justru berlaku surut atau Retroaktif untuk memenuhi permohonan perpanjangan masa jabatan Firli Bahuri dkk oleh pemohon Nurul Ghufron sebagai salah satu pimpinan KPK.

2. Baik KPK maupun MK secara bersama-sama telah mengabaikan kritik dan penilaian Publik sebagai seharusnya menjadi pertimbangan kedua Institusi Hukum tersebut sebagai moral force untuk bertindak dan memutuskan atas nama hukum di mana seharusnya menjunjung tinggi moral Asas equality before the law.

3. MK mulai abai sebagai Penegak Konstitusi Negara yang pada dasarnya merupakan refleksi Kedaulatan Rakyat dalam Negara Hukum untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini MK bermain-main menjadi bagian dari politik rezim berkuasa yang seakan dianggap mewakili subjektivitas negara. Jika demikian Positivisme Hukum dalam memutuskan suatu perkara tidak lagi menjadi politik Hukum Negara di mana seharusnya mencerminkan Kedaulatan Rakyat sebagai wujud tertinggi politik negara Hukum Indonesia.

4. MK dan KPK mempertontonkan perselingkuhan dua institusi hukum yang amoral yang dapat dikategorikan mengangkangi hukum itu sendiri untuk tujuan subjektivitas penegak hukum, bukan objektivitas hukum sebagai public consent oleh negara.

5. Dalam kasus di atas Hukum dalam wajah negara, sewaktu-waktu bisa atau rentan dikorupsi oleh aparat petugas hukum sendiri sebagai bentuk persekongkolan dari institusi-institusi hukum untuk kepentingan sendiri.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #kpk  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...