Dengan suara bergetar dan sambil menitikan air mata Sukmawati Soekarnoputri menyatakan mohon maaf lahir dan batin kepada Ummat Islam atas puisinya yang diberjudul 'Ibu Indonesia' yang telah memantik kontroversi dan protes.
Kebesaran hati putri Proklamator ini tentu sangat melegakan kita semua, kesungguhannya patut mendapatkan respon positif dengan menghentikan polemik yang menyita perhatian dan energi, sehingga kita bisa kembali memberikan perhatian kita untuk membangun bangsa dan negri tercinta Indonesia.
Sebagai seorang peneliti politik, saya melihat masalah ini sebagai sebuah fenomena politik terkait masalah proses nasionalisme yang belum selesai. Integrasi faham nasionalisme dan agama terutama Islam tampaknya masih harus dituntaskan. Walaupun sebagian besar ummat Islam dalam tataran filosofis terutama NU, Muhammadiyah, dan HMI telah menerima Pancasila sebagai "kalimatunsawa" atau "common platform" dalam kehidupan bernegara, akan tetapi sosialisasinya di tataran akar rumput tampaknya belum selesai. Masalahnya bertambah besar dengan masuknya faham-faham keagamaan baru yang datang dari sejumlah negara, dan munculnya organisasi-organisasi Islam baru yang menarik perhatian dan simpati generasi muda.
Meskipun demikian, dibanding sejumlah negara Muslim lain, Indonesia jauh lebih beruntung. Mesir dan Turki yang memiliki sejumlah kesamaan dengan Indonesia, sampai saat ini masyarakatnya terbelah menjadi dua kelompok besar, yaitu Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Religius. Dalam kontestasi politik, kedua kelompok ini selalu bersaing dan saling menghabisi. Di Indonesia, kedua kelompok ini telah lama saling mendekat dan bekerjasama.
Pancasila sejatinya merupakan kompromi politik yang dapat menjadi landasan filosofis maupun yuridis yang walaupun tidak memuaskan akan tetapi keduabelah pihak dapat dan telah menerimanya.
Bung Karno sendiri sebagai proklamator sejatinya mengambil posisi di tengah di antara keduanya. Bahkan menjadi mediator sehingga tercapai permufakatan yang masih bertahan sampai saat ini. Dukungan Bung Karno terhadap Piagam Jakarta merupakan salah satu bukti posisi politik Sukarno. Bahkan ketika mengeluarkan dekrit 5 Julu 1959 yang isinya pernyataan kembali ke UUD 1945, masih diikuti oleh anak kalimat bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD 1945.
Walaupun sampai saat ini kelompok Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Religius di Indonesia juga selalu bersaing dalam kontestasi politik di tingkat nasional, akan tetapi sejatinya posisi keduanya juga telah saling mendekat, atau dengan kata lain terjadi proses moderasi. Sebagai contoh, PDI Perjuangan sebagai partai politik terbesar mewakili kelompok Nasionalis Sekuler memiliki organ bernama Baitul Muslimin yang mengurusi bidang dakwah dan aktifitas keagamaan. Sementara bagi kelompok Nasionalis Religius dikenal dengan slogan "Hubbul Wathon Minal Iman", mencintai tanah air merupakan bagian dari iman.
Selain itu, sejak Reformasi tahun 1998 di mana tidak pernah muncul satu partai politik sebagai pemenang mutlak (perolehan suara lebih dari 50%), sehingga memaksa dilakukannya koalisi dalam pemerintahan. Kedua kelompok ini selalu terwakili dan saling mengakomodasi siapapun pemenangnya. Bahkan sampai saat ini, sebagian besar pakar politik meyakini pasangan Capres dan Cawapres harus mencerminkan kombinasi di antara keduanya jika ingin keluar sebagai pemenang.
Karena itu, reaksi terhadap puisi Sukmawati dan respon Sukmawati dapat dilihat sebagai bukti mutakhir tesis ini, sekaligus bukti semakin matangnya kita menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan yang masih tersisa.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #